JAKARTA, HUMAS MKRI - Para mahasiswa jurusan Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kusuma Negara Jakarta berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (8/5/2019). Kedatangan mereka disambut Peneliti MK Rima Yuwana Yustikaningrum di Ruang Delegasi MK.
Di awal, Rima menerangkan sejarah terbentuknya MK Republik Indonesia. “Tahun 1998 puncaknya terjadi demokrasi dari masyarakat yang diwakili oleh para mahasiswa se-Indonesia. Tuntutannya antara lain penegakan hukum dan hak asasi manusia, karena pada masa orde baru kebebasan berbicara dibungkam. Juga tuntutan pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme. Keinginan masyarakat saat ini merupakan hal yang wajar,” urai Rima.
Selanjutnya, kata Rima, adanya amendemen UUD 1945 dan lahirnya UU MK maka muncul Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003. “Kalau kalian ingin mengetahui sejarah terbentuknya MKRI dan kewenangannya bisa dilihat di laman MKRI,” ungkap Rima.
Rima melanjutkan, kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya seperti Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan lain-lain. “Lembaga-lembaga negara ini memiliki kewenangan tugas dan kewenangan yang berbeda-beda, tidak bertabrakan satu sama lain tetapi saling melengkapi,” ucap Rima.
Kemudian mengenai jumlahnya Hakim MK seluruhnya ada 9 orang dan berasal unsur MA, Pemerintah dan DPR yang masing-masing 3 orang. Lantas apa alasannya kenapa hanya MA, Pemerintah dan DPR yang diamanahkan mencalonkan Hakim MK?
“Kalau mau diteliti, masing-masing Hakim MK merupakan perwakilan dari tiga kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif dari Presiden, kekuasaan legislatif dari DPR, kekuasaan yudikatif dari MA,” imbuh Rima.
Lebih lanjut, Rima menjelaskan kewenangan utama MK menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. “Siapa pun warga negara Indonesia berhak melakukan pengujian Undang-Undang apabila ada Undang-Undang yang merugikan hak konstitusionalnya. Karena hak konstitusional seseorang dilindungi dan dijamin oleh Undang-Undang,” jelas Rima.
Kewenangan MK berikutnya, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. “Sengketa kewenangan antara lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki masing-masing lembaga negara tersebut,” tegas Rima.
Kewenangan MK lainnya, memutus pembubaran partai politik. Sejauh ini MK belum pernah menjalakan kewenangan memutus pembubaran partai politik. Belum pernah ada Pemohonnya.
“Namun bukan berarti MK tidak bersiap diri untuk menjalankan kewenangan membubarkan partai politik. Sejauh ini ada recharging program, MKRI mengirimkan beberapa staf terbaiknya untuk belajar selama 2-3 bulan ke negara tertentu yang temanya tentang pembubaran partai politik. Ini bukti keseriusan MKRI untuk belajar dan mempersiapkan diri meskipun belum ada perkara yang masuk,” papar Rima.
Selain itu, ada kewenangan MK untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum dan kewajiban MK untuk memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum maupun perbuatan tercela.
Lebih lanjut, Rima memaparkan fungsi MK yakni sebagai penafsir konstitusi, pengawal konstitusi, sebagai pelindung terhadap hak asasi manusia maupun sebagai penegak demokrasi. (Nano Tresna Arfana/LA)