JAKARTA, HUMAS MKRI - Berbagai pertanyaan disampaikan beberapa mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Pancasila saat berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (15/4/2019). Salah seorang mahasiswa misalnya, ada yang menanyakan proses seleksi hakim konstitusi yang baru dan menjaga netralitas hakim konstitusi.
“Seleksi hakim konstitusi yang dilakukan tiga lembaga negara merupakan perwujudan dari prinsip checks and balances yang mekanismenya melalui tim panitia seleksi. Jadi lebih netral dan menjamin adanya fairness dari hasil yang dipilih. Diharapkan hakim yang terpilih betul-betul menjadi seorang negarawan yang sejati,” ujar Peneliti MK Andriani Wahyuningtyas Novitasari yang menerima para mahasiswa.
“Sebetulnya secara prinsip dengan independensi, sudah cukup untuk menyatakan bahwa hakim konstitusi itu netral dari segala kepentingan. Tetapi, ada satu faktor utama seperti dikatakan Hans Kelsen bahwa hakim konstitusi tidak bisa dilepaskan dari moral sebagai pengatur perilaku internal,” urai Andriani.
Secara normatif, sambung Andriani, hakim konstitusi yang dipilih oleh masing-masing lembaga harus betul-betul memegang teguh prinsip independensi dan imparsialitas. Di MK ada Dewan Etik MK yang mengawasi hakim konstitusi. “Dewan Etik MK mengawasi perilaku hakim konstitusi sesuai kode etik dan kode perilaku. Namun Dewan Etik MK tidak mengawasi substansi putusan,” ungkap Andriani.
Selain itu, ada mahasiswa yang menanyakan soal Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sudah melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, namun Mahkamah Agung menilai KPU melakukan perbuatan melanggar hukum.
“Ini sangat menarik. Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan bahwa terhadap subyek yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, itu dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Kalau Mahkamah Agung menyatakan demikian, silahkan saja, karena tidak punya kekuatan hukum mengikat dan hanya dilakukan secara tersirat. Karena memang putusan Mahkamah Konstitusi adalah yang paling dekat dengan Konstitusi, sebagai lembaga yang menjamin supremasi Konstitusi,” tegas Andriani.
Dalam pertemuan itu, Andriani menjelaskan pengertian konstitusionalisme yang merupakan paham atau gagasan mengenai pembatas antar cabang kekuasaan negara dan sebagai perlingungan hak konstitusi warga negara. Selanjutnya Andriani mengungkapkan mengenai fungsi konstitusi baik secara konsepsial dan operasional. Secara konsepsial, berfungsinya Pancasila sebagai landasan filosofi bangsa, berfungsinya sistem presidensial secara konstitusional sebagai landasan struktural yang tertuang dalam UUD serta berfungsinya tujuan nasional yang diimplementasikan dalam kebijakan politik bangsa.
Sedangkan secara operasional, sambung Andriani, hal yang tercermin dalam fungsi konstitusi secara konsepsional dapat terealisasikan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta mampu dilaksanakan oleh suprastruktur dalam hal ini pemerintah. Juga infrastruktur yakni partai politik, organisasi massa, dan segenap masyarakat.
Berikutnya, Andriani menjelaskan secara panjang lebar mengenai sejarah pengujian Undang-Undang di dunia dan Indonesia. Termasuk sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003 yang dilatar belakangi reformasi politik 1998, kemudian melalui proses amandemen UUD 1945. Lainnya, Andriani menerangkan pengertian negara hukum maupun fitur-fitur menarik di laman MKRI yang akan membantu para pencari keadilan. Terutama buat mereka yang sering berperkara di MKRI.
Sebelum mengakhiri pertemuan, Andriani mengingatkan kepada para mahasiswa agar ikut berperan dalam penegakan hukum konstitusi, baik dalam peran akademisi, peran sosial (agent of change) dan peran politik. “Mahasiswa memiliki tanggung jawab moral, intelektual dan sosial,” tandas Andriani. (Nano Tresna Arfana/LA)