JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan yang diajukan oleh Petrus Bala Pattayona terkait pengujian Pasal 458 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan Nomor 21/PUU-XVII/2019 tersebut dibacakan pada Senin (15/4/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemohon yang berprofesi sebagai advokat mendalilkan Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu menyebutkan bahwa Penyelenggara Pemilu yang diadukan harus datang sendiri dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain. Pemohon menjelaskan pasal tersebut mengakibatkan Pemohon sebagai Kuasa Hukum tidak dapat menjalankan pekerjaan, telah kehilangan hak untuk mendapat imbalan atau pekerjaan atau penghasilan dan perlakuan yang adil serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai kuasa hukum. Pemohon berharap dengan adanya tafsiran dari Mahkamah Konstitusi, maka kerugian yang dialami Pemohon tidak terjadi lagi. Diharapkan advokat tidak terkendala dengan adanya pembatasan-pembatasan dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu karena adanya frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” yang dianggap telah merugikan Pemohon.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah berpendapat frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu sesungguhnya bukan ditujukan kepada subjek di luar penyelenggara pemilu. Artinya, lanjut Saldi, keharusan untuk datang sendiri dalam proses pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik dibebankan kepada penyelenggara pemilu yang diadukan.
Pada saat yang sama, ujar Saldi, pembatasan bahwa seorang penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik tidak dapat menguasakan kepada orang lain juga ditujukan kepada penyelenggara pemilu, bukan kepada pihak lain di luar penyelenggara pemilu. Karena pembatasan frasa dalam norma tersebut ditujukan kepada penyelenggara pemilu, bukan kepada pihak lain mana pun, maka sesuai dengan karakter tindakan penegakan dalam pelanggaran kode etik yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Larangan dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu sepanjang frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” adalah konsekuensi logis dan karakteristik penyelesaian pelanggaran etik.
“Dengan demikian, bilamana diletakkan dalam logika memberikan kuasa atau dapat menguasakan kepada orang lain termasuk advokat, maka hal demikian akan memberikan hak dan kewenangan (authority) kepada penerima kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa. Logika demikian, sangat mungkin karena alasan tertentu penyelenggara pemilu yang diadukan telah melanggar atau terindikasi melanggar kode etik penyelenggara pemilu dapat mewakilkan kehadirannya kepada penerima kuasa dalam proses penyelesaian pelanggaran kode etik,” ujar Saldi dalam sidang putusan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Peradilan Publik
Saldi melanjutkan prinsip-prinsip yang dijadikan rujukan penyelesaian masalah pada saat adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan penyelenggara pemilu, meskipun terbatas pada ranah etik, haruslah tetap berpedoman pada “hukum acara” quasi peradilan publik. Terlebih lagi bentuk putusan dari DKPP apabila kesalahan atas pelanggaran yang dilaporkan terbukti adalah bersifat hukuman (punishment). Hal ini menegaskan bahwa penyelesaian adanya dugaan pelanggaran tersebut adalah menggunakan mekanisme hukum acara dalam quasi peradilan yang bersifat publik.
“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, menjadi tidak tepat apabila terlapor dapat memberikan kuasa kepada kuasa hukum termasuk dalam hal ini advokat. Sebab hubungan hukum pemberian kuasa dan yang menerima kuasa hanya terjadi dalam hukum privat yaitu hubungan hukum antar pribadi atau individu dalam hal terjadi sengketa kepentingan maupun hak,” papar Saldi.
Penasihat Hukum
Selain itu, Saldi menambahkan karena Mahkamah menegaskan penyelesaian dugaan pelanggaran terhadap penyelenggara pemilu di DKPP adalah bersifat quasi peradilan publik, maka terhadap Pemohon dalam proses persidangan DKPP tersebut sebenarnya masih dapat berperan sebagai Penasihat Hukum, bukan kuasa hukum.
Penasihat hukum, lanjut Saldi, yaitu pihak yang dapat mendampingi terlapor pada sidang DKPP yang mempunyai tugas pokok pendampingan, pemberian nasihat-nasihat bahkan mendampingi untuk memberikan bantuan pembelaan terhadap terlapor/teradu. “Oleh karena itu dengan peran Pemohon yang demikian, kekhawatiran Pemohon akan kehilangan fee (honor) adalah tidak berdasar,” tandas Saldi. (Lulu Anjarsari)