Berpedoman pada Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) bahwa pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri. Adapun pengaturan kewenangan menteri tersebut diejawantahkan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 yang pada intinya terhadap standar pendidikan nonformal, Pemerintah memberikan keleluasaan karena karakteristik pendidikan nonformal tidak terstruktur dalam pengembangan programnya dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Demikan disampaikan oleh Ahli Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia Dian Puji Nugraha Simatupang selaku Ahli Pemerintah dalam sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (20/3/2019).
Lebih lanjut, Dian menjabarkan bahwa apabila ada badan atau pejabat administrasi Pemerintah yang mewajibkan standar bagi pendidikan nonformal bagi jalur pendidikan nonformal, maka hal tersebut adalah sebuah bentuk ketidakpahaman atas norma yang telah ada. Bahwa penyelenggara jalur pendidikan nonformal diberikan keleluasaan dan tidak wajib memenuhi standar, yang meliputi pencapaian tingkat perkembangan anak, isi, proses, penilaian, pendidik dan tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, serta pengelolaan dan pembiayaan.
“Jadi, pembedaan itu bukanlah suatu diskriminasi. Pemerintah tetap memberikan keleluasaan dalam karakteristik yang berbeda dan tanpa perlu memenuhi standar yang kemungkinan akan memberatkan penyelenggara pendidikan nonformal. Hal ini merupakan pengakuan dan apresiasi pemerintah atas peran serta penyelenggara pendidikan nonformal termasuk terhadap pendidik dan tenaga kependidikannya,” jelas Dian terhadap sidang Perkara Nomor 2/PUU-XVII/2019 yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Diminati dan Capai Standar
Terhadap keberadaan pendidik dan tenaga pendidikan pada pendidikan nonformal, Dian menyampaikan bahwa Pemerintah mengatur dua hal, yakni mengatur regulasi yang memberikan iklim kondusif agar penyelenggara pendidikan nonformal makin diminati dan diikuti masyarakat. Kemudian, mengatur pemberian insentif yang makin memajukan sistem pendidikan anak usia dini nonformal. Sehingga makin cepat mendekati dan mencapai standar minimal yang diharapkan. “Jadi, bukan berarti pemerintah tidak memberikan perhatian pada pendidik dan tenaga pendidikan anak usia dini nonformal. Sehingga tetap diupayakan insentif yang tujuannya tetap memajukan dan memberikan penghargaan yang proporsional kepada pendidik dan tenaga kependidikan pada penyelenggara pendidikan nonformal,” tegas Dian terhadap perkara yang dimohonkan Anisa Rosadi yang berprofesi sebagai guru PAUD nonformal.
Bukan Disebut Guru
Pada kesempatan yang sama, Pemohon menghadirkan Kurniawan Catur Hidayat yang telah berprofesi menjadi pengajar PAUD nonformal sejak 2009. Diceritakan Kurniawan bahwa sejak 2009 hingga sekarang, dirinya yang merupakan lulusan sarjana pendidikan anak usia dini masih berstatus pengajar dan bukan disebut guru. Karena berpedoman pada UU a quo, sebutan guru hanya disematkan pada pendidik pada PAUD formal. “Untuk menjadi guru tidak bisa karena saya terbentur dengan UU. Yang masuk dalam kategori guru adalah, pada PAUD formal,” jelas Kurniawan.
Berikutnya Neli yang merupakan pengajar pada Kelompok Bermain di Jakarta juga berkisah bahwa sejak 2006 menjadi pengajar PAUD nonformal dirinya hanya mendapatkan satu kali kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan pemerintah. Dan setelahnya tidak ada lagi program pengembangan diri yang diikuti pengajar pada instansi tempat ia mengajar. “Ada tawaran program seperti diklat lanjutan sama pemerintah, tapi setelahnya tidak ada program lainnya,” ujar Neli.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon menyebutkan pasal-pasal yang diujikan merugikan hak konstitusionalnya karena hanya mengakui bahwa guru hanyalah pendidik pada PAUD formal, sedangkan pendidik pada PAUD nonformal secara hukum tidak diakui sebagai guru. Akibatnya, Pemohon tidak mendapatkan jaminan untuk mengembangkan kompetensi seperti sertifikasi guru dan jaminan kesejahteraan seperti gaji pokok, tunjangan fungsional, dan tunjangan khusus lainnya. Untuk itu, melalui Petitum, Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk pula Pendidikan Anak Usia Dini pada jalur nonformal’. (Sri Pujianti/LA)