JAKARTA, HUMAS MKRI – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan, dengan memperhatikan saat ini keanggotaan BPK memiliki periode masa jabatan yang tidak sama terhadap frasa “untuk 1 (satu) kali masa jabatan” dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, maka secara kelembagaan BPK tidak dapat memberikan keterangan secara independen dan obyektif tentang pokok perkara yang diajukan Pemohon Perkara Nomor 3/PUU-XVII/2019.
BPK menegaskan, mekanisme pemilihan anggota BPK dilakukan melalui proses seleksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018. Sehingga dikabulkannya permohonan Pemohon uji UU BPK ini tidak menjamin terpilihnya kembali anggota BPK.
“Mengenai proses persidangan permohonan perkara ini kami menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya. Demikian keterangan yang dapat kami sampaikan,” ujar Sekretaris Jenderal BPK Bahtiar Arif dalam lanjutan uji materiil UU BPK pada Senin (18/3/2019).
Sementara itu, Jacob Tobing yang ditunjuk MK sebagai Pemberi Keterangan, menjelaskan bahwa masalah BPK sudah dibicarakan saat rapat Panitia Ad Hoc (PAH) terkait amandemen UUD 1945 pada Oktober 1999 sampai 2002.
“Semangatnya adalah semangat reformasi, seperti pembatasan kekuasaan, perlu diterapkannya mekanisme checks and balances, pengelolaan kenegaraan yang lebih baik dan sebagainya. Salah satu yang diputuskan adalah untuk membentuk BPK yang bebas dan mandiri. Anggota BPK diusulkan oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Tetapi perintah membentuk BPK adalah dari UUD 1945 dan BPK merupakan badan yang bebas dan mandiri,” urai Jacob kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Jacob mengatakan bahwa setelah melalui pembahasan dan tukar pikiran yang panjang, pengaturan lebih lanjut mengenai BPK dilakukan menurut undang-undang. “Saya rasa hanya ini yang bisa saya sampaikan,” imbuh Jacob.
Sebelumnya, anggota BPK, Rizal Djalil dengan kuasa hukumnya Irman Putrasidin dan rekan. Pemohon melakukan uji materiil Pasal 5 ayat (1) frasa “untuk 1 (satu) kali masa jabatan” UU BPK. Pasal a quo berbunyi, “Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”.
Pemohon mendalilkan, semangat pembatasan Presiden hanya maksimal dua periode, adalah mencegah berulangnya otoriternya kekuasaan pada satu tangan. Namun BPK bukanlah kekuasaan yang dipegang satu tangan, melainkan oleh 9 orang yang bekerja secara kolektif kolegial (Pasal 4 ayat (1) UU BPK) dan juga bukanlah pemegang kekuasaan pemerintahan yang menguasai seluruh lini militer, penegakan hukum hingga sektor ekonomi sumber daya alam.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-X/2012, Mahkamah berpendapat bahwa pembatasan masa jabatan Presiden tidak dapat dipersamakan dengan pembatasan yang sama untuk masa jabatan anggota DPR dan DPRD karena sifat jabatan dari kedua jabatan itu berbeda. Presiden adalah jabatan tunggal yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, sehingga memang diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan. Adapun anggota DPR dan DPRD adalah jabatan majemuk yang setiap pengambilan keputusan dalam menjalankan kewenangannya dilakukan secara kolektif, sehingga sangat kecil kemungkinannya untuk terjadinya kesewenang-wenangan.
Sidang lanjutan uji materiil UU BPK ini merupakan sidang terakhir sebelum menuju sidang pengucapan putusan. MK memberikan waktu bagi Pemohon untuk menyerahkan kesimpulan paling lambat Selasa, 26 Maret 2019 pukul 10.00 WIB. (Nano Tresna Arfana/LA)