JAKARTA, HUMAS MKRI - Dua puluh lima pelajar SMA Islam Ghama Ar-Rasyid Depok berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (14/3/2019) siang. Peneliti MK Mahrus Ali menerima para pelajar di ruang delegasi MK dengan menyampaikan materi seputar Mahkamah Konstitusi.
Di awal, Mahrus menjelaskan makna dari Mahkamah Konstitusi. “Mahkamah itu dari bahasa Arab, artinya pengadilan. Konstitusi itu adalah hukum dasar atau Undang-Undang Dasar. Maka secara sederhana, Mahkamah Konstitusi kita sebut pengadilan tata negara yang berlandaskan konstitusi,” ucap Mahrus.
Dikatakan Mahrus, Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda dengan Mahkamah Agung (MA) yang lebih dulu berdiri dengan kewenangan yang berbeda. Mahkamah Agung membawahi pengadilan agama, pengadilan negeri, pengadilan tata usaha yang mengadili perkara-perkara konkret.
“Sedangkan Mahkamah Konstitusi mengadili pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Jadi lebih ke aspek tata negaranya, bukan persoalan konkret atau sehari-hari seperti kasus pidana maupun perdata,” urai Mahrus.
Kenapa ada MK di Indonesia? Dijelaskan Mahrus, MK lahir pasca reformasi 1998 yang antara lain menuntut penegakan hukum dan hak asasi manusia, pemberantasan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) maupun amendemen UUD 1945 pada 1999 hingga 2002. Hingga dibentuklah MK Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003, seiring terbentuknya UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Kemudian berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 disebutkan kewengan MK yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. “MK melihat sejauhmana apakah ada undang-undang yang bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Adanya MK adalah untuk melindungi hak warga negara dari undang-undang yang merugikan,” kata Mahrus kepada para pelajar.
Kewenangan MK berikutnya, sambung Mahrus, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu MK memutus pembubaran parpol dan perselisihan hasil pemilu. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum.
Mahrus juga menyinggung tentang Hakim MK yang didelegasikan dari tiga lembaga yakni Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung (MA) yang masing-masing berjumlah tiga orang. Dengan demikian seluruh Hakim MK berjumlah sembilan orang. Meskipun para Hakim MK berasal tiga lembaga berbeda, dalam melaksanakan tugasnya Hakim MK harus independen dan imparsial.
“Walaupun dia diutus dan dipilih oleh DPR, dia tidak mewakili kepentingan DPR. Dia mandiri dan imparsial untuk menciptakan peradilan yang netral, bebas dari campur tangan pihak mana pun. Seperti misalnya, dalam waktu dekat MK akan mengadili perkara sengketa pemilu. Maka akan sangat berbahaya kalau Hakim MK tidak netral,” papar Mahrus.
(Nano Tresna Arfana/LA)