Petrus Bala Pattyona yang berprofesi sebagai advokat menguji Pasal 458 ayat (6) Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang perdana Perkara Nomor 21/PUU-XVII/2019 ini digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (14/3/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam permohonannya, Petrus mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu. Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu menyatakan, “Penyelenggara Pemilu yang diadukan harus datang sendiri dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain”. Aturan tersebut mengatur tidak bisanya penyelenggara pemilu diwakilkan kuasa hukum saat dipanggil Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) dinilai merugikan hak konstitusinya.
Petrus menyebut aturan tersebut membuat Pemohon ditolak untuk memberikan bantuan hukum/pembelaan dan pendampingan dalam menghadapi kasus hukum yang dialami klien Pemohon. Seperti yang dialami Pemohon langsung saat memberi bantuan hukum bagi Komisioner Penyelenggara Pemilu dari KIP Nagan Raya Provinsi Aceh menjalani persidangan di DKPP.
“Dalam praktiknya Pelapor dapat didampingi atau diwakili oleh kuasa hukum, sementara pihak yang diadukan/dilaporkan yang diduga melakukan pelanggaran Pemilu tidak dapat didampingi/diwakili oleh kuasa hukum karena adanya frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu,” jelasnya di hadapan sidang panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut.
Pemohon berharap dengan adanya tafsiran dari Mahkamah Konstitusi, maka kerugian yang dialami Pemohon tidak terjadi lagi. Diharapakan advokat tidak terkendala dengan adanya pembatasan-pembatasan dalam Pasal 458 ayat (6) UU Pemilu karena adanya frasa “dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain” telah merugikan Pemohon.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta kejelasan terkait kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. Sebab, lanjutnya, dalam penjelasan, Pemohon sebatas memberi gambaran peristiwa konkret yang hanya menimpa dirinya selaku advokat.
“Apa mesti diuraikan kasus serupa satu-persatu yang menimpa setiap advokat. Sebab kasus konkret sifatnya berbeda beda yang menimpa setiap advokat,” jelasnya. Saldi juga meminta bagian kesimpulan tidak diperlukan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta Pemohon menjelaskan alasan advokat dapat mendampingi dalam perkara etik. Sebab, menurutnya, perkara di DKPP adalah perkara etik. “Kalau konsep advokat selama ini adalah mendampingi untuk proses hukum. Nantipemohon bisa menguraikan contoh kasus etik di keprofesian seperti wartawan, kedokteran, atau advokata apakah bisa didampingi oleh advokat,” ujarnya.
Sedangkan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna meminta kejelasan Pemohon terkait kerugian konstitusional bersifat perseorangan warga negara atau kerugian yang dialami oleh seluruh advokat. “Kalau tidak diperjelas akan menyebabkan Permohonan kabur,” jelasnya.
Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan permohonan ditunggu selambatnya pada 27 Maret 2019. (Arif Satriantoro/LA)