JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya pemohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pembacaan Putusan Nomor 10/PUU-XVII/2019 dilakukan Majelis Hakim Konstitusi pada Rabu (13/3/2019) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan uji materiil Pasal Pasal 229 ayat (1) dan Pasal 448 ayat (2) huruf c UU Pemilu, yakni Ahmad Syauqi, Ammar Saifullah, Taufiqurrahman Arief, Khairul Hadi, Yun Frida Isnaini, dan Zhillan Zhalilan yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafiiyah.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan terlanggarnya hak konstitusional para Pemohon dengan tidak transparannya kerja dan hasil kerja tim survei. Tak hanya itu, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar karenanya tidak adanya masa kampanye bagi calon petahana. Para Pemohon menyampaikan sebelum berlaku UU Pemilu, apabila calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) petahana mengikuti pemilu presiden (pilpres), maka harus mengambil cuti sekalipun hak-hak protokol masih melekat, dengan dibatasinya penggunaan fasilitas negara. Bahkan dalam Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) diatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri wajib mundur dari jabatan. Namun, pada pelaksanaan Pilpres 2019 dengan berlandaskan UU Pemilu tidak diatur kewajiban yang demikian. Hal ini, menurut para Pemohon, kemudian dapat saja menimbulkan permasalahan terkait pelaksanaan kampanye bagi petahana.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon tersebut tidak rasional. Sebab, Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu secara tegas menjamin bahwa, sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden, hak Presiden dan/atau Wakil Presiden petahana untuk melaksanakan kampanye sama sekali tidak dikurangi jika hendak mencalonkan diri kembali sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Palguna menekankan justru akan menjadi bertentangan dengan semangat Pemilu juga UUD 1945 jika Presiden dan/atau Wakil Presiden petahana yang hendak mencalonkan diri kembali sebagai Presiden dan Wakil Presiden tidak diberi hak untuk melaksanakan kampanye.
“Sebab, jika hal itu dilakukan berarti akan terjadi perlakuan berbeda terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden petahana dengan calon Presiden dan Wakil Presiden lainnya untuk hal atau kedudukan yang sama, yaitu sama-sama pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta Pemilu. Persoalan apakah hak itu akan digunakan atau tidak, hal itu sepenuhnya berada di tangan yang bersangkutan. Hanya saja, karena kedudukannya sebagai petahana, maka terhadap calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden petahana diberlakukan pembatasan agar dalam melaksanakan haknya untuk berkampanye yang bersangkutan tidak menyalahgunakan kedudukannya sebagai petahana,” terang Palguna.
Sementara terlanggarnya hak masyarakat untuk tahu (the right to know) sebagaimana didalilkan para Pemohon, Mahkamah berpendapat hak calon presiden dan/atau calon wakil presiden petahana untuk melaksanakan kampanye justru dijamin oleh Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu. Dengan sendirinya, lanjut Palguna, pasal tersebut tidak melanggar hak dimaksud karena masyarakat tidak kehilangan kesempatan untuk mendengarkan visi, misi, maupun program calon presiden dan/atau calon wakil presiden petahana.
“Lagi pula, untuk mengetahui visi, misi, dan program pasangan calon presiden dan/atau wakil presiden, termasuk pasangan calon presiden dan/atau wakil presiden petahana, bukan hanya terbatas melalui kampanye tatap muka (sebagaimana tampak secara implisit dari dalil-dalil para Pemohon),” ujarnya.
Transparansi
Sementara terkait transparansi dana lembaga survei, Palguna menegaskan Mahkamah menekankan pentingnya transparansi pelaksanaan survei jajak pendapat. Dengan kata lain, persoalan bahwa suatu survei yang tidak transparan dan/atau keilmiahan metodologinya dipertanyakan tidaklah serta-merta inkonstitusional. Sebab, lanjutnya, di satu pihak, hal itu lebih merupakan persoalan akademik sehingga pertanggungjawabannya pun lebih bersifat akademik sehingga jika kaidah akademik tersebut dilanggar atau tidak dipenuhi.
“Maka secara akademik ia akan kehilangan kredibilitasnya dan, konsekuensi logisnya, secara sosiologis ia tidak akan dipercaya. Di sinilah pentingnya lembaga survei atau jajak pendapat secara etik diawasi oleh asosiasi lembaga survei atau jajak pendapat,” tegasnya.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. (Lulu Anjarsari)