JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha Bali, Rabu (13/3). Dalam kunjungan, mereka disambut Peneliti MK Anna Triningsih di Aula Gedung MK. Dirinya berbicara terkait seluk-beluk MK dalam ketatanegaraan Indonesia.
Mengawali pemaparan, Anna menjelaskan tentang MK yang lahir sebagai “anak kandung” reformasi. Negara menjadi lebih demokratis dalam berbagai hal. Salah satunya dengan berdirinya MK pada 13 Agustus 2003. “Bergulirnya reformasi membawa efek dengan lahirnya MK di Indonesia,” jelasnya di hadapan 126 mahasiswa.
Anna menyatakan berdirinya MK sama dengan waktu disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Lembaga ini juga diatur dalam Konstitusi hasil dari amendemen ketiga. Dia menyebut MK merupakan kekuasaan kehakiman yang baru dan setara dengan Mahkamah Agung (MA).
Secara kelembagaan, kata Anna, MK terdiri dari kepaniteraan dan kesekjenan. Kepaniteraan mengurus hal yang berhubungan dengan perkara, sedangkan kesekjenan mengurus administrasi secara kelembagaan.
“Di sisi lain MK juga memiliki sembilan hakim. Terdapat ketua dan wakilnya sebagai representasi lembaga ke publik,” jelas Anna. Meski demikian, lanjut dia, ketua dan wakil sifatnya setara dalam rapat permusyawarahan hakim (RPH) saat hendak berdiskusi dan memutus suatu perkara.
Untuk pemilihan ketua MK, jelas Anna, dilakukan secara musyawarah diantara sembilan hakim yang ada. Ketika tidak terjadi kesepakatan, maka dilakukan voting.
Terkait putusan MK, kata Anna, sifatnya final dan mengikat. Berbeda dengan putusan dengan pengadilan dibawah MA yang dapat dilakukan banding maupun kasasi sebab MK mengadili norma dan bukan kasus konkret. Secara garis besar, kata Anna, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban berdasar UUD 1945. Kewenangan MK, antara lain menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Adapun kewajiban MK adalah membuat putusan terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden.
MK, kata Anna, awalnya tidak memiliki kewenangan menguji UU yang dibentuk sebelum reformasi, namun akhirnya dikoreksi dengan adanya permohonan dan diputus MK, hal ini tidak dapat diterapkan. Di sisi lain, MK juga memiliki kewenangan mengadili perkara pilkada. Namun ke depannya, dihapuskan sampai terbentuknya lembaga khusus yang menangani sengketa pilkada.
Selesai pemaparan, sesi berlanjut untuk tanya jawab. Seorang mahasiswa bertanya apakah urusan money politic dapat diusut oleh MK. Anna menyebut hal itu bukanlah tupoksi MK sebab menjadi kewenangan Kepolisian dan Bawaslu. “MK fokus pada mengurai selisih suara antarpihak yang bersengketa,” jelasnya. (Arif Satriantoro/LA)