Ahli Hukum Acara Pidana Chairul Huda menegaskan kewenangan penyidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak bertentangan dengan Criminal Justice System. Hal ini dikatakan saat menjadi ahli pemerintah dalam siding uji materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), Selasa (12/3), di Ruang Sidang Panel MK.
Huda menyebut UU OJK merupakan UU administratif namun memuat juga aturan pidana. Ini istilahnya dikenal sebagai hukum pidana administratif. Huda menyatakan dalam KUHAP diakui adanya penyidik di luar Polri yakni Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
“KUHAP merupakan grand design dari Criminal Justice System. Sehingga adanya kewenangan penyidik oleh PPNS dan Polri yang ada di OJK tidak bertentangan dengan Criminal Justice System itu sendiri,” jelas Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini.
Huda pun menjelaskan konsep OJK sebagai lembaga pengawas keuangan yang terintegrasi. Di mana terdapat kewenangan hukum administrasi dan juga hukum pidana yang ada di OJK. Bagi pemohon ini adalah aneh dan tidak dikenal dalam konsep hukum. Meski demikian, dirinya tidak sepakat dengan pandangan tersebut.
“Dalam hukum ada teori Total Law Enforcement. Artinya hukum administrasi berada sebagai awalan, hukum perdata sebagai pertengahan, serta hukum pidana sebagai pilihan terakhir dalam penegakan hukum,” jelasnya dalam Perkara Nomor 102/PUU-XVI/2018. Artinya, OJK bisa dilihat sebagai Integrated Law Enforcement.
Di sisi lain, Huda juga mengomentari tentang kewenangan OJK yang dapat melimpahkan perkara ke Kejaksaan. Yakni Pemohon merujuk pada KUHAP yang menempatkan Polri sebagai Korwas pelimpahan perkara. Meski demikian, seiring perkembangan yang dinamis, UU Bea Cukai, UU Pajak, dan UU Imigrasi mengatur PPNS dapat melakukan pelimpahan perkara ke kejaksaan.
“Jadi Pemohon mesti melihat tidak dari KUHAP saja. Namun perkembangan aturan pasca KUHAP lahir yang dapat dilihat juga sebagai Criminal Justice System,” jelasnya. Dengan kata lain, kata dia, UU sejenis yang lain tidak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan, di RUU KUHAP nantinya akan mengatur kalau Korwas tidak hanya Polri saja, namun juga PPNS serta Penyidik Lembaga. Sehingga pelimpahan perkara ke Kejaksaan tidak melulu merupakan domain Polri semata.
Terakhir, Huda menegaskan UU OJK merupakan open legal policy yang dilakukan pemerintah. Di mana pandangan pemerintah dirasa lebih efektif jika mengumpulkan seluruh kewenangan pengawasan keuangan pada satu lembaga. Sehingga tidak bisa dinilai UU ini inkonstitusional.
Sementara Deni Indrayana selaku ahli pemerintah menyebut dalam konteks tata negara bisa suatu lembaga independen memiliki mix function. Misalkan fungsi pengawasan dan penyidikan terdapat dalam satu lembaga. Namun di sisi lain tetap ada pembatasan juga. Yakni fungsi penegakan pidana tidak dicampurkan dengan kekuasaan kehakiman.
“OJK di berbagai negara memiliki kewenangan yang sama dengan OJK di Indonesia. Yakni berfungsi sebagai pengawas dan penyidik juga. Contohnya di Jepang, Inggris, serta Jerman,” jelas wakil menteri Hukum dan HAM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU OJK ini diajukan oleh para dosen yang terdiri dari Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitosari, Bintara Sura Priambada, dan Ashinta Sekar Bidari. Para Pemohonmerasa hak hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan”.
Para Pemohon mempermasalahkan wewenang penyidikan dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK tidak mengaitkan diri dengan KUHAP. Isinya menyebut PPNS OJK berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum. Artinya, lanjut Pemohon, jika tidak dibutuhkan, maka PPNS OJK dapat melakukan penyidikan tanpa berkoordinasi ataupun meminta bantuan penegak hukum lainnya yakni penyidik Polri. Pemohon menegaskan, apabila melihat wewenang Penyidik OJK yang termuat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK, terdapat beberapa ketentuan norma yang melanggar asas due process of law dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari penyidik OJK. (Arif S/NRA)