Mahkamah Konstitusi menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, di Ruang Sidang Panel MK pada Selasa (12/03/2019). Perkara yang teregistrasi Nomor 18/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo. Pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia yang berbunyi, (1) “Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", (2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, (3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri” merugikan hak konstitusionalnya. Para Pemohon pun menilai pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih, Suri Agung menyampaikan bahwa dalam kasus konkret pihaknya telah mengalami tindakan pengambilan paksa mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 oleh PT Astra Sedaya Finance (PT ASF).
Sebelumnya Pemohon telah melakukan Perjanjian Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil mewah tersebut. Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Pemohon berkewajiban membayar utang kepada PT ASF senilai Rp222.696.000 dengan cicilan selama 35 bulan dengan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 – 18 Juli 2017 Pemohon telah membayarkan angsuran secara taat. Namun, pada 10 November 2017, PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan Pemohon dengan dalil wanprestasi. Atas perlakuan tersebut Pemohon mengajukan surat pengaduan atas tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF. Namun tidak ditanggapi hingga pada beberapa perlakuan tidak menyenangkan selanjutnya.
Menerima perlakuan tersebut, Pemohon berupaya mengambil langkah hukum dengan mengajukan perkara ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada 24 April 2018 dengan gugatan perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel. Pengadilan pun mengabulkan gugatan Pemohon dengan menyatakan PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun pada 11 Januari 2018, PT ASF kembali melakukan penarikan paksa kendaraan Pemohon dengan disaksikan pihak kepolisian. Atas perlakuan paksa tersebut, Pemohon menilai PT ASF telah berlindung di balik pasal yang diujikan pada perkara a quo. Padahal lagi, tambah Suri Agung, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut berkedudukan lebih tinggi dari UU a quo. Dengan demikian, para Pemohon pun berpendapat bahwa tidak ada alasan paksa yuridis apapun bagi pihak PT ASF untuk melakukan tindakan paksa termasuk atas dasar Pasal a quo.
“Sesuai dengan hasil keputusan pengadilan itu, pihak PT ASF tidak bisa mengambil mobil. Namun pada kenyataannya, tetap mengambil paksa. Jadi, akibat pasal aquo kerugian konstitusionalnya adalah kedudukan kreditur yakni PT ASF itu memiliki hukum tetap, sedangkan debitur tidak punya kekuatan hukum, yang sebagaimana seharusnya berkedudukan hukum sesuai dengan yang diamarkan pengadilan,” sampai Suri Agung yang hadir didampingi Aprillia.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan ini, Palguna mempertanyakan ketidakjelasan kerugian konstitusional yang disampaikan para Pemohon. Palguna mendapati bahwa permohonan lebih menjabarkan kasus konkret yang dialami para Pemohon. Untuk itu, Palguna meminta agar para Pemohon memahami syarat-syarat tertentu atas hal-hal yang termasuk dalam kategori kerugian konstitusonal. “Jadi, kenapa pasalnya bertentangan? Anda harus fokus pada pasal yang diujikan itu dengan menguraikan kerugian konstitusional akibat pemberlakuan pasal a quo dengan UUD 1945. Kenapa bertentangan? tegas Palguna.
Adapun Hakim konstitusi Enny menyarankan para Pemohon mempelajari sistematika pengajuan permohonan di MK. Menurut Enny permohonan ini sulit dipahami sehingga Mahkamah mengalami ketidakmengertian atas hal yang dimaksudkan Pemohon. “Oleh karena itu, perbaiki sistematika kelaziman mengajukan permohonan ke MK serta kedudukan hukum Pemohon. Jika tidak jelas, kita tidak akan bisa masuk ke pokok permohonan. Jadi, hak konstitusi apa yang diberikan UU a quo kemudian terlanggar,” terang Enny. (Sri Pujianti/NRA)