JAKARTA, HUMAS MKRI - Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Luthfi Widagdo Eddyono mengajak para Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Sunan Giri (Unsuri) Surabaya berkontribusi untuk menulis di Majalah Konstitusi, Jurnal Konstitusi maupun terbitan MK lainnya.
“Di majalah Konstitusi adalah kolom opini, resensi dan lainnya untuk menampung ide-ide para mahasiswa. Termasuk juga kepada dosen bisa berkontribusi di Majalah Konstitusi maupun Jurnal Konstitusi,” ungkap Luthfi saat menerima rombongan Mahasiswa FH Unsuri Surabaya di ruang delegasi MK, Senin (4/3/2019).
Di awal, Luthfi menjelaskan sejarah konstitusi di Indonesia. Bermula dari UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), UUDS 1950, kemudian kembali ke UUD 1945. “UUD 1945 yang sekarang berlaku berbeda dengan UUD 1945 sebelum diamendemen. UUD 1945 sebelum amendemen, sistem kelembagaan negara bersifat pembagian kekuasaan dan MPR merupakan lembaga tertinggi negara,” kata Luthfi yang menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dan Kelembagaan Negara”.
Berbeda dengan UUD 1945 setelah diamendemen (1999-2003), sistem kelembagaan negara berupa mekanisme checks and balances, artinya kedudukan antara lembaga negara sederajat, tidak ada lembaga tertinggi negara.
“Kekuasaan lembaga-lembaga negara di Indonesia sama secara strata. Misalnya ada Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan lainnya. Sampai muncul pertanyaan, kalau tidak ada lembaga tertinggi negara, lantas siapa yang bisa memutuskan permasalahan-permasalahan ketatanegaraan? Kemudian ketika ada konflik antara lembaga negara, bagaimana mengatasinya?” imbuh Luthfi.
Luthfi menerangkan, UUD 1945 pasca-reformasi dan telah diamendemen menunjuk Mahkamah Konstitusi untuk menjadi lembaga yang bisa memutuskan konflik-konflik ketatanegaraan seperti itu. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
“Mahkamah Konstitusi dibentuk dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menjalankan peradilan. Selain itu ada kekuasaan kehakiman lainnya yaitu Mahkamah Agung sebagai proses banding tertinggi di Indonesia,” urai Luthfi.
Namun, lanjut Luthfi, yang paling penting bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, tidak ada banding dan kasasi. Dengan demikian peradilan di Mahkamah Konstitusi berbeda dengan peradilan lainnya.
Lebih lanjut, Luthfi menjabarkan empat kewenangan dan satu kewajiban MK Republik Indonesia. Kewenangan pertama adalah menguji UU terhadap UUD. Kewenangan kedua adalah memutus sengketa antara lembaga negara. Sedangkan kewenangan ketiga adalah memutus pembubaran partai politik. Di samping itu, ada kewenangan memutus perkara hasil pemilihan umum. Selain empat kewenangan tersebut, MK juga wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum maupun perbuatan tercela. (Nano Tresna Arfana/LA)