JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) pada Rabu (20/2/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang kesembilan tersebut, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku Pihak Terkait menghadirkan Dosen Fakultas Kedokteran UGM Rr. Titi Savitri Prihatiningsih selaku Ahli.
Terkait permohonan Nomor 80/PUU-XVI/2018 tersebut, Titi menjabarkan struktur dan jenis pendidikan kedokteran yang berlaku secara global dan sesuai dengan perkembangan pendidikan dokter di banyak negara, termasuk di Indonesia. Struktur tersebut, yaitu pendidikan dasar, pascasarjana, dan berkelanjutan. Dalam praktik di banyak negara, menurut Titi, terdapat enam model pendidikan, di antaranya pendidikan yang diteruskan dari lulusan SMA hingga kemudian lulus dari fakultas kedokteran. Sebelum 2011, tambah Titi, setelah lulus dari fakultas kedokteran, seorang dokter dapat praktik mandiri. Kemudian, Permenkes Nomor 299/MENKES/PER/II/2010 memerintahkan adanya program magang (intership) selama satu tahun guna menghasilkan dokter yang lebih kompeten di bidangnya.
“Dengan adanya UU a quo di Indonesia telah menganut konsep regulasi Professional Public Partnership, maka keberadaan Konsul Kedokteran Indonesia adalah platform bersama semua pemangku kepentingan untuk membahas pendidikan dan praktik kedokteran termasuk keanggotaan KKI yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan yang dimaksudkan Pasal 14 UU Praktik tersebut,” jelas Titi.
Sesuai dengan konsep regulasi profesi, tambah Titi, organisasi profesi memiliki berbagai fungsi, mulai dari pendidikan hingga praktik kedokteran. Dengan adanya perluasan fungsi tersebut, telah terbentuk pula badan-badan otonom yang melingkupinya. Salah satu fungsi dari organisasi profesi adalah memberikan sertifikasi melalui pengadaan ujian lisensi agar anggota yang merupakan dokter tersebut memenuhi syarat kompetensi. Karena dalam kedokteran di Indonesia pun terdapat tahap pendidikan dan tahap profesi.
Titi menjelaskan tahap pendidikan menjadi otonomi perguruan tinggi, yang dalam penyelenggaraannya mengacu pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang disahkan Konsil Kedokteran Indonesia. Adapun pada tahap profesi, seseorang dokter pun harus memiliki kompetensi untuk praktik yang standar kompetensinya disesuaikan dengan kebutuhan praktik. Melalui sarana intership selama satu tahun dengan pengawasan supervisi, maka setelah dinyatakan layak, seseorang akan mendapatkan, maka sertifikat kompetensi dokter. “Hal ini penting untuk menjamin dokter yang bekerja di masyarakat benar-benar terjamin ilmu dan akhlaknya. Jadi, profesionalisme dokter selama intensif inilah terjadi penilaian terus-menerus,” jelas Titi.
Pada sidang sebelumnya permohonan yang dimohonkan 36 orang perseorangan warga negara yang terdiri atas dosen, pensiunan dosen, dan guru besar bidang kedokteran ini menyatakan Pasal 1 angka 12 dan angka 13 serta Penjelasan Pasal 1, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (3) huruf d serta Penjelasan, dan Pasal 30 ayat (2) huruf b UU Praktik Kedokteran berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon. Dalam dalilnya, para Pemohon menyatakan Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran pada pengertian frasa “Ikatan Dokter Indonesia” menilai pasal tersebut ditafsirkan secara sempit semata-mata sebagai Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) untuk tingkat nasional.
Menurut para Pemohon dalam lingkungan IDI terdapat beberapa majelis yang sifatnya otonom, seperti Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Pengertian IDI pada pasal tersebut dinilai menempatkan majelis-majelis tersebut menjadi subordinat dari PB-IDI. Khususnya pula bagi Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) yang berakibat pada kesewenangan PB-IDI untuk campur tangan dalam bidang akademis/pendidikan dokter.
Dampak negatif dari pasal-pasal tersebut apabila tidak dikoreksi akan menjadikan PB IDI menguasai atau mengendalikan bidang kedokteran dari hulu hingga ke hilir karena tidak terbinanya mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga dalam lingkungan IDI sebagaimana dipraktikkan senior-senior IDI pada masa-masa sekitar tahun 2000. Untuk itu, para Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menyatakan konstitusional bersyarat terhadap pasal-pasal yang diujikan. (Sri Pujianti/LA)