JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil aturan mengenai definisi produk halal sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) pada Selasa (12/2/2019) siang. Paustinus Siburian yang berprofesi sebagai konsultan hukum produk halal tercatat sebagai Pemohon Nomor 8/PUU-XVII/2019 tersebut menyampaikan perbaikan permohonan yang telah dilakukan.
Paustinus menjelaskan perbaikan permohonan disesuaikan dengan saran yang diberikan Panel Hakim pada sidang sebelumnya. Salah satu perbaikan yang dilakukan adalah menambah jumlah pasal diuji, yakni Pasal 60 UU JPH. “Soal nebis in idem, saya menambahkan ketentuan mengenai Pasal 60 UU JPH sebagai dasar bahwa dalam pandangan saya, ini bukan nebis in idem,” jelasnya.
Selain itu, Pemohon mengubah fokus permohonan yang semula mempermasalahkan mengenai sertifikasi halal, melainkan produk halal. “Saya tidak keberatan dengan kewajiban sertifikasi halalnya. Tapi saya ikuti saran Yang Mulia Ketua Panel, dirombak menjadi kata ‘produk’-nya yang menjadi persoalan,” ujarnya di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Dalam permohonan sebelumnya, Pemohon menguji diktum pertimbangan huruf b, Pasal 1 angka 1, Pasal 3 huruf a, Pasal 4, Pasal 26 ayat (2), Pasal 65, dan Pasal 67 UU JPH. Pasal-pasal a quo pernah diujikan Pemohon dalam permohonan Perkara Nomor 5/PUU-XVI/2017 yang telah diputus MK. Pemohon menjelaskan bahwa dalam bagian Menimbang huruf b di antara kata “agama” dan “untuk” harusnya diselipkan kata “Islam”. Demikian juga dengan kata “masyarakat” harusnya “umat Islam”. Pemohon beralasan tujuan UU JPH untuk menjamin setiap pemeluk agama ”Islam” untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan “umat Islam”.
Akan tetapi, Pemohon menilai UU JPH menyamaratakan semua agama sebagai mengenal konsep haram dan setiap orang perlu jaminan halal, seperti termuat dalam tujuan UU JPH justru bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Pemohon berpendapat bahwa Pasal 4 UU JPH menimbulkan ketidakpastian mengenai apa sebenarnya yang menjadi target dari UU a quo, yang wajib bersertifikat halal.
Kewajiban mencantumkan keterangan tidak halal pada kemasan produk atau pada produk itu sendiri sangat merugikan Pemohon. Pemohon berpendapat seharusnya ditegaskan tidak halal itu untuk siapa. Tidak halal menurut syariat Islam tidak berarti tidak halal menurut agama/kelompok lain. Jika dalam kemasan atau bagian produk hanya disebutkan “tidak halal”. Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945. (Lulu Anjarsari)