JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) pada Senin (11/2/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang ketujuh tersebut, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku Pihak Terkait menghadirkan Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia M. Nasser selaku Ahli dan M. Akbar selaku Saksi.
Terkait permohonan Nomor 80/PUU-XVI/2018 tersebut, Nasser menyebut bahwa permohonan Pemohon bersifat pengulangan terhadap permohonan sebelumnya yang telah diputus MK dalam Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017 dengan putusan sebagian dikabulkan dan ditolak. “Ada pengulangan permohonan dari sebelumnya (Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017). Jadi, permohonan Pemohon seharusnya tidak perlu diperiksa karena menambah beban majelis hakim konstitusi,” jelas Nasser di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, Nasser menjelaskan bahwa penjelasan pasal yang diujikan oleh Pemohon merupakan batang tubuh dan tidak menjadi bagian dari UU Praktik Kedokteran. Penjelasan pasal yang diuji tidak bermuatan norma sehingga tidak dapat diuji materiil terhadap UUD 1945. “Menurut pendapat Ahli, permohonan ini telah selesai diputus melalui Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017 yang lalu bersifat final dan mengikat,” tegasnya menanggapi permohonan yang diajukan oleh Judilherry Justam dan kawan-kawan.
Selain itu, Nasser menyebut tidak ada hubungan langsung maupun tidak langsung antara pasal undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, termasuk Penjelasan Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran dengan pasal yang diujikan dalam UUD 1945. Dengan demikian, lanjutnya, pandangan Pemohon dalam pengujian pasal-pasal ini, tidak memiliki dasar hukum yang kuat, tidak logis berdasarkan pada assumption of linear thinking. "Dan secara logika hukum, tidak memiliki kaitan atau hubungan substansial antara pasal yang dimohonkan diuji dengan pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945," paparnya.
Terkait pernyataan Ahli Pihak Terkait tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo menegaskan makna permohonan nebis in idem, yakni permohonan yang tidak bisa dimohonkan kembali sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 6 Tahun 2005. "Permohonan ini sebenarnya sudah semua diajukan, kecuali yang masalah jabatan rangkap di KKI yang tidak boleh dirangkap oleh pengurus, salah satunya pengurus IDI. Itu bukan hal yang demikian. Kalau diajukan kembali karena sudah pernah dikabulkan, benar kata Bapak, kehilangan objek, tapi terhadap norma yang masih konstitusional, kemudian masih mau di-challenge lagi karena dianggap inkonstitusional karena pernah diajukan permohonan, kemudian ditolak, itu masih bisa diajukan dengan syarat harus ada dasar pengujian yang berbeda," terangnya.
Sementara itu, M. Akbar yang merupakan Pengurus IDI periode 2015 – 2018 dalam keterangannya sebagai Saksi, membantah dalil yang diungkapkan Pemohon mengenai adanya intervensi IDI terhadap majelis kolegium. Menurutnya, majelis kolegium bersifat mandiri. “Hubungan antara IDI dan majelis kolegium bersifat koordinatif. IDI tidak mengintervensi,” paparnya.
Perkara yang teregistrasi Nomor 80/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan 36 orang perseorangan warga negara yang terdiri atas dosen, pensiunan dosen, dan guru besar bidang kedokteran. Para Pemohon menyatakan Pasal 1 angka 12 dan angka 13 serta Penjelasan Pasal 1, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (3) huruf d serta Penjelasan, dan Pasal 30 ayat (2) huruf b UU Praktik Kedokteran berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon. Dalam dalilnya para Pemohon menyatakan Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran pada pengertian frasa “Ikatan Dokter Indonesia” menilai pasal tersebut ditafsirkan secara sempit semata-mata sebagai Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) untuk tingkat nasional.Padahal menurut para Pemohon dalam lingkungan IDI terdapat beberapa majelis yang sifatnya otonom, seperti Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Pengertian IDI pada pasal tersebut dinilai menempatkan majelis-majelis tersebut menjadi subordinat dari PB-IDI. Khususnya pula bagi Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) yang berakibat pada kesewenangan PB-IDI untuk campur tangan dalam bidang akademis/pendidikan dokter.
Dampak negatif dari pasal-pasal tersebut apabila tidak dikoreksi akan menjadikan PB IDI menguasai atau mengendalikan bidang kedokteran dari hulu hingga ke hilir karena tidak terbinanya mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga dalam lingkungan IDI sebagaimana dipraktikkan senior-senior IDI pada masa-masa sekitar tahun 2000. Untuk itu, para Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menyatakan konstitusional bersyarat terhadap pasal-pasal yang diujikan. (Lulu Anjarsari)