JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan pendahuluan uji Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Buru Selatan di Provinsi Maluku berikut Lampiran Peta Wilayah Kabupaten Buru Selatan Provinsi Maluku digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (7/2/2019).
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 11/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Ramly Umasugi dan Amustofa Besan selaku Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Buru (Pemohon I), Iksan Tinggapy, A. Azis Hentihu, dan Djalil Mukadar, sebagai Ketua DPRD dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Buru (Pemohon II), Mahmud Nustelu dan Elias Behuku sebagai warga Desa Waihotong dan Desa Batu Karang (Pemohon III).
Para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya UU a quo khususnya Pasal 3 ayat (2) serta Lampiran Peta Wilayah Kabupaten Buru Selatan Provinsi Maluku. Pasal-pasal tersebut dinilai tidak memberikan kepastian hukum dan melahirkan multitafsir. Fahri Bachmid selaku kuasa hukum yang didampingi oleh Wakil Bupati Kabupaten Buru, Amustofa Besan menjelaskan ketidakjelasan rumusan norma dan multitafsirnya rumusan Pasal 3 ayat (2) berikut Lampiran Peta Wilayah UU 32/2008 atas kepastian wilayah administrasi telah nyata mengakibatkan kerugian bagi warga negara yang berdomisili di Desa Waehotong dan Desa Batu Karang sebagaimana yang dialami oleh Pemohon secara faktual. Dijelaskan Fahri, kerugian konstitusional para Pemohon adalah ketidakpastian atas status batas wilayah daerah yang ditempatinya. “Apakah status mereka termasuk dalam Kabupaten Buru atau Kabupaten Buru Selatan?” ucap Fahri.
Fahri menyebut kejelasan batas wilayah daerah sangatlah penting mengingat keperluan administrasi kependudukan seperti perpanjangan KTP ataupun mendapatkan kepastian Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam pemilu ataupun pemilukada sebagai bentuk pelayanan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah. Menurut para Pemohon, ketidakjelasan norma Pasal 3 ayat (2) berikut Lampiran Peta Wilayah dalam UU No. 32/2008 tentang batas wilayah berdampak pada upaya perolehan hak-hak terhadap kewajiban yang harus ditunaikan sebagai warga.
“Betapa warga sangat dirugikan bilamana telah menunaikan kewajibannya kepada instansi pemerintahan kabupaten tertentu, tetapi ternyata itu seharusnya dilakukan melalui intansi pemerintahan di kabupaten yang lain, sehingga menimbulkan kebingungan bagi warga negara dalam memperjuangkan hak-haknya. Pemerintah daerah Maluku sudah berusaha secara maksimal melakukan penyelesaian persoalan tersebut, baik pada tingkat mediasi, koordinasi maupun rapat-rapat yang dilakukan secara intens,” tegas Fahri.
Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 3 ayat (2) berikut Lampiran Peta Wilayah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Buru Selatan di Provinsi Maluku bertentangan secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat) sepanjang tidak dimaknai “kecuali Desa Waehotong yang ada di Kecamatan Kepala Madan serta Desa Batu Karang yang ada di Kecamatan Leksula merupakan wilayah administrasi Kabupaten Buru”.
Perbaiki Pasal Permohonan
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan para Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mencermati permohonan para Pemohon yang tidak menyebutkan pasal-pasal yang diuji di awal permohonan. Namun pada Lampiran Peta Wilayah barulah terlihat pasal-pasal yang diuji. “Seolah-olah semua isi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 yang dirugikan. Pemohon hanya menyebutkan batu uji dari UUD 1945,” ungkap Wahiduddin.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo menasehati agar para Pemohon memperkuat kedudukan hukum. “Setelah sidang pendahuluan berlanjut sidang perbaikan permohonan dan kami bertiga melaporkan substansi permohonan ke para hakim konstitusi lainnya. Dalam Rapat Permusyawaratan Hakim akan diputuskan apakah permohonan Saudara bisa berlanjut ke sidang pleno untuk melakukan pembuktian. Pemohon Prinsipal akan dinilai Majelis, apakah punya kedudukan hukum atau tidak?” tegas Suhartoyo. (Nano Tresna Arfana/LA)