Lima anggota DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (7/2/2019) pagi di Ruang Delegasi Gedung MK. Kunjungan delegasi DPRD Kaltim itu dipimpin oleh Ketua Badan Kehormatan DPRD Kaltim Dahri Yasin.
Beberapa pertanyaan muncul dalam pertemuan itu. Misalnya, soal putusan Badan Kehormatan DPRD Kaltim mengenai pelanggaran etik yang dilakukan anggota DPRD Sokhip terkait penggunaan ijasah palsu. Namun, Sokhip tidak terima, ada wacana akan menguji putusan Badan Kehormatan DPRD Kaltim ke MK.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Kepala Biro Humas dan Protokol MK Rubiyo menjelaskan bahwa putusan Badan Kehormatan DPRD Kalimantan Timur bersifat final dan mengikat. Uji materi ke Mahkamah Konstitusi hanya terhadap peraturan perundang-undangan atau yang bersifat lebih spesifik ke undang-undang.
“Kalau pun kasus itu dibawa ke MK, Kepaniteraan MK tidak akan menolak. Silakan saja. Masalah nanti diputus seperti apa, semua diserahkan ke Hakim MK dan akan diproses dalam sidang pendahuluan,” kata Rubiyo.
Kemudian ada pertanyaan mengenai yang menjadi dasar para calon legislatif (caleg) mengajukan permohonan perkara hasil pemilu. Kepala Bagian Humas MK dan Kerja Sama Dalam Negeri Fajar Laksono Soeroso menerangkan bahwa dasarnya adalah keputusan KPU tentang penetapan perolehan hasil suara, akan diumumkan setelah pemungutan suara, rekapitulasi dan seterusnya.
“Berdasarkan penetapan KPU itulah, maka para caleg kemudian dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi yang diberi waktu oleh undang-undang, 3 x 24 jam. Selama belum ada putusan MK, berlaku prinsip bahwa penetapan KPU harus dianggap sah. Oleh karena itu, pembuktian ada di tangan para pemohon,” ucap Fajar.
Selanjutnya, ungkap Fajar, dalam persidangan MK akan mengadu alat bukti yang dimiliki KPU dengan alat bukti yang dimiliki pemohon. “Dalam hal terjadi alat bukti yang sama dokumennya tapi informasinya di dalamnya berbeda, maka MK yang nanti akan memutuskan,” ujar Fajar.
Lebih lanjut, Fajar menanggapi pertanyaan seputar masalah yang sering terjadi dalam domain penyelenggara pemilu. Dijelaskan Fajar, pemilu itu rangkaiannya panjang, dari hulu hingga ke hilir. Terkait penanganan perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi hanya diberi kewenangan di bagian hilir.
“Ketika seluruh rangkaian proses ini berjalan, mulai dari pemungutan suara sampai penetapan suara, barulah MK yang memastikan apakah seluruh rangkaian proses itu konstitusional atau tidak,” kata Fajar.
Fajar juga menjelaskan pertanyaan anggota DPRD Kaltim soal implementasi putusan MK yang terkadang tidak dilaksanakan. “Implementasi putusan perkara pengujian undang-undang memang masih agak sedikit problematik. Sedangkan implementasi putusan perkara hasil pemilu, hampir tidak ada masalah. Benar bahwa Mahkamah Konstitusi tidak punya instrumen eksekutorial seperti juru sita di Mahkamah Agung misalnya. Eksekutorial sesungguhnya dari Mahkamah Konstitusi, ya Undang-Undang Dasar itu sendiri,” tandas Fajar. (Nano Tresna Arfana/LA)