Ahmad Syauqi, Ammar Saifullah, Taufiqurrahman Arief, Khairul Hadi, Yun Frida Isnaini, dan Zhillan Zhalilan yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam As-Sayfiiyah mengajukan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang pendahuluan yang digelar pada Kamis (7/2/2019) di Ruang Sidang Panel ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra.
Dalam permohonan Nomor 10/PUU-XVII/2019, Taufiqurrahman Arief selaku salah satu Pemohon menyampaikan bahwa Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye” dan Pasal 448 ayat (2) huruf c berbunyi “ ... Survei atau jajak pendapat tentang pemilu” UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut para Pemohon, sebelum berlaku UU Pemilu, apabila calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) petahana mengikuti pemilu presiden (pilpres), maka harus mengambil cuti sekalipun hak-hak protokol masih melekat, dengan dibatasi pada penggunaan fasilitas negara. Bahkan dalam Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri wajib mundur dari jabatan. Namun, pada pelaksanaan Pilpres 2019 dengan berlandaskan UU Pemilu tidak diatur kewajiban yang demikian. Hal ini, menurut para Pemohon, kemudian dapat saja menimbulkan permasalahan terkait pelaksanaan kampanye bagi petahana. “Oleh karena itu, untuk keadilan maka harus diatur agar Presiden dapat melakukan kampanye diwaktu libur,” ujar Taufiqurrahman.
Selain itu, tambah Taufiqurrahman, terkait dengan Pasal 448 ayat (2) huruf c UU Pemilu Pemohon berpendapat pelaksanaan survei terhadap elektabilitas capres dan cawapres perlu dijelaskan asal sumber dana survei untuk tidak menimbulkan polemik. Untuk itu, perlu diangkat ke publik metodologi survei dan sumber penyandang dana survei dari paslon petahana tersebut. “Pelaksanaan survei atas elektabilitas pasangan capres dan cawapres dalam Pilpres 2019 ini harus mengungkapkan dana kepada masyarakat agar tidak terjadi survei pesanan,” terang Taufiqurrahman.
Berdasarkan seluruh alasan tersebut, para Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika frasa “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye” tidak ditafsirkan sebagai “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye di luar hari kerja bagi calon presiden dan wakil presiden petahana”. Sedangkan Pasal 448 ayat (2) huruf c tidak ditafsirkan sebagai “Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk c. Survei atau jajak pendapat tentang pemilu dengan kewajiban menyebutkan sumber penyandang dana survei.”
Kerugian Spesifik
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi I Dwa Gede Palguna memberikan catatan perbaikan, di antaranya berkaitan dengan kedudukan hukum para Pemohon yang belum menjelaskan secara baik mengenai kerugian konstitusional atas pengujian norma yang diuji. Palguna belum menemukan hubungan sebab akibat dan sifat faktual atau potensial dari pengujian norma sehingga tidak akan lagi terjadi pelanggaran hak konstitusional para Pemohon. Hal ini, menurut Palguna, merupakan awal bagi Mahkamah untuk memeriksa pokok permohonan. “Oleh karena itu, poin pertama yang harus diuraikan secara tajam adalah kerugian konstitusional itu dan bukan hanya secara sistematika permohonan,” jelas Palguna.
Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi Isra mempertanyakan kerugian spesifik yang dialami para Pemohon atas sebuah survei elektabilitas capres dan cawapres dalam pemilu. Karena menurut pandangan Saldi, apabila sebuah lembaga survei tidak mengumumkan sumber dana dalam melakukan kegiatannya, belum jelas bentuk ketidakadilan yang berimbas kepada para Pemohon.
Adapun Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengingatkan kepada para Pemohon untuk lebih memperhatikan cara mengutip pasal yang diujikan karena sebuah pasal tidak selamanya berdiri sendiri. “Adakalanya sebuah pasal itu berkaitan dengan pasal lainnya. Jadi, perhatikan betul pasal yang akan diujikan itu yang mana dan bunyinya seperti apa,” tegas Wahiduddin.
Sebelum menutup persidangan, Palguna menyampaikan pada para Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya hingga Rabu, 20 Februari 2019 pukul 10.00 WIB untuk menyempurnakan permohonan. Untuk kemudian dapat diagendakan persidangan berikutnya oleh Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/Syifa Khoirunnisa/LA)