Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) pada Rabu (6/2/2019) di Ruang Sidang Panel MK. Pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra ini, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menyampaikan perbaikan permohonan. Perbaikan permohonan yang dilakukan, di antaranya menambahkan rasionalisasi dan alasan inkonstitusionalitas perlu dilakukan revisi dalam jangka waktu tiga tahun terhadap Pasal 1, 2, 3, dan 4 UU Penodaan Agama.
Melalui perkara yang teregistrasi Nomor 5/PUU-XVII/2019 ini, Zico menjabarkan revisi tersebut harus sesuai dengan prinsip keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi suatu negara (salus populi suprema lex). Selain itu, hal ini juga bertentangan dengan teori hukum sebagaimana pendapat Lon Fuller dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. “Berdasarkan hal tersebutlah terdapat permasalahan inkonstitusioallitas karena tidak dilakukannya revisi. Jadi, bukan pasal penistaan agamanya,” jelas Zico yang masih duduk di bangku semester enam Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Secara faktual, tambah Zico, permasalah pelaksanaan revisi UU dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun melalui prolegnas prioritas. Sehingga, rentang waktu tiga tahun adalah waktu yang paling tepat dengan tiga alasan. Pertama, waktu yang memadai sehingga tidak terlalu cepat maupun terlalu lama bagi pembentuk undang-undang. Kedua, dimulainya masa jabatan pembentuk undang-undang yang baru sehingga dapat dimasukkan dalam program legislasi 2020 – 2024. Terakhir, mengacu pada Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017 yang mendasarkan waktu tiga tahun sebagai waktu untuk melakukan revisi sebuah UU.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon menyampaikan bahwa sebelumnya pernah mengajukan pengujian undang-undang yang sama terkait dengan Pasal 4 UU Penodaan Agama dan telah diputus dalam Putusan Nomor 76/PUU-XVI/2018. Pemohon menerima putusan tersebut yang menyatakan pasal penistaan agama konstitusional namun perlu dilakukan perubahan mendesak. Akan tetapi, hingga permohonan ini diajukan kembali oleh Pemohon, pembentuk undang-undang belum melakukan hal tersebut. Akibatnya, Pemohon menilai hal tersebut merugikan konstitusional Pemohon yang lahir karena inkonstitusional tidak dilakukannya revisi pasal penistaan agama. (Sri Pujianti/LA)