Mahkamah Konstitusi menggelar sidang kedua perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang dimohonkan Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Farouk Muhammad yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPD RI Periode 2014 – 2019 serta Nurmawati Dewi Bantilan yang menjabat sebagai Anggota DPD RI Periode 2014 – 2019 pada Rabu (6/2/2019) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pada sidang perbaikan perkara yang teregistrasi Nomor 1/SKLN-XVII/2019 ini, Kurniawan selaku kuasa hukum menyampaikan beberapa catatan perbaikan, di antaranya kewenangan Mahkamah terkait dasar teori Mahkamah Konstitusi negara lain yang pernah menyelesaikan sengketa internal lembaga negara, yakni MK Korea Selatan, MK Thailand, dan MK Jerman. Dalam kasus di Korea Selatan, misalnya pernah menyelesaikan sengketa antara Ketua Majelis Nasional, yang dimungkinkan pembekuan aktivitas lembaga. Apabila sengketa kewenangan itu melibatkan pemecatan, maka Putusan MK tersebut bisa menyelesaikan masalah yang demikian.
“Jika dikaitkan dengan MKRI ini adalah hal yang menarik karena sama-sama memiliki kesamaan dalam hal konstitusinya. Sehingga MK memiliki kewenangan dalam menyelesaikan perkara intern ini,” jelas Kurniawan dalam perkara yang menjadikan Oesman Sapta selaku Ketua DPD RI Periode April 2017 – September 2019, Nono Sampono selaku Wakil Ketua I DPD RI Periode April 2017 – September 2019, dan Darmawanti Lubis selaku Wakil Ketua II DPD RI Periode April 2017 – September 2019 sebagai Termohon.
Berikutnya terkait alasan permohonan, Pemohon juga menambahkan argumentasi tentang pimpinan yang merepresentasikan lembaga, khususnya dalam memimpin sidang paripurna yang diatur dalam UU MD3. Pemohon menjelaskan sengketa ini bermula dari adanya Pertatib yang memangkas masa jabatan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun, namun aturan ini tidak dijalankan Termohon. Lalu, tegas Kurniawan, Pemohon melakukan upaya hukum berikutnya hingga sampai pada upaya kasasi.
“Pada hasil akhirnya keputusannya adalah ini bukan kewenangan TUN. Jadi, makanya sengketa ini sampai ke MK karena pengadilan biasa sudah menyatakan bukan kewenangannya,” urai Kurniawan di hadapan sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra.
Sebelumnya, Pemohon menjelaskan bawa Termohon telah mengambil dan merugikan kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan Pasal 22C ayat (3); Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 23 ayat (2); Pasal 23E ayat (2); dan Pasal 23F ayat (1) UUD 1945 yang sedang dijalankan sejak 4 April 2017. DPD RI merupakan lembaga negara yang terdiri dari unsur anggota DPD RI yang telah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Melalui proses pemilihan umum tersebut kemudian anggota DPD RI yang terpilih dari tiap provinsi melakukan pemilihan ketua pimpinan dengan mengikuti masa jabatan keanggotaannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPD RI Nomor 1 Tahun 2014 yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 20P/HUM/2017. Selanjutnya, dibentuklah alat kelengkapan lain guna mendukung kinerja pimpinan dalam menjalankan lembaga selama lima tahun. Sedangkan Termohon adalah lembaga DPD dengan pimpinan baru dengan masa jabatan 2,5 tahun, yakni April 2017 – September 2019 dan hal tersebut ditetapkan tanggal 4 April 2017 sebagai pimpinan setelah dikeluarkannya Putusan MA 20P/HUM/2017. Artinya, hal inilah merupakan indikator sederhana telah terjadinya pengambilalihan kewenangan kekuasaan secara tidak sah.
Selanjutnya, Pemohon juga menilai pengambilalihan ini terkait dengan tidak dapat terpisahkannya antara pimpinan dengan kelembagaan, selama pimpinan belum ditetapkan secara sah, maka lembaga DPD RI pun belum dapat melaksanakan kewenangan konstitusionalnya. Sebagai pimpinan lembaga majemuk, unsur mutlak yang harus dipenuhi adalah pimpinan yang sah secara hukum. Hal ini dikarenakan pimpinan merupakan satu-satunya alat kelengkapan yang bisa memimpin sidang DPD RI dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan serta menyampaikan laporan kinerja dalam sidang paripurna DPD RI sesuai Pasal 261 UU MD3. Akibat munculnya Termohon, telah terjadi dua lembaga negara atau kloning sehingga berujung pada sengketa dalam melaksanakan kewenangan antara Termohon dan Pemohon.
Berdasarkan dalil yang dimohonkan, pada petitum, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan sah para Pemohon sebagai Pimpinan DPD RI Periode 2014 – 2019. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah memulihkan hak-hak para Pemohon selaku ketua dan anggota dalam kedudukan dan harkat martabatnya dalam keadaan semula. (Sri Pujianti/LA)