Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/1/2019). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 7/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Nur Ana Apfianti, seorang ibu rumahtangga. Pemohon diwakili kuasa hukumnya Muhammad Sholeh dan rekan.
Muhammad Sholeh menjelaskan bahwa Pemohon adalah warga kota Surabaya Provinsi Jawa Timur, terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan sejak 2018 dengan membayar premi sebesar Rp51.000,00 (lima puluh satu ribu rupiah) dengan nomor kepesertaan 0001734248891. Sebelum menjadi peserta BPJS Kesehatan, Pemohon telah menjadi peserta asuransi Prudential dengan Nomor Polis 10075516 sejak 22 September 2014. Asuransi a quo plus tabungan yang termasuk meng-cover kesehatan Pemohon.
Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dalam hal perlindungan hukum karena Pemohon tidak dapat menentukan sendiri pilihan untuk mengikuti asuransi kesehatan yang tepat bagi Pemohon. Dengan pemberlakukan ketentuan a quo, hak konstitusional Pemohon untuk memilh asuransi yang terbaik menjadi terabaikan. Selain itu, jika Pemohon tidak mengikuti asuransi BPJS, maka Pemohon akan terkena saksi baik teguran tertulis, denda sampai tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
“BPJS yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang mengatur sistem jaminan sosial nasional terbagi menjadi dua yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan,” ungkap Muhammad Sholeh kepada Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Pemohon menguji Pasal 14 UU BPJS menyatakan setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia wajib menjadi peserta program jaminan sosial. Pemohon beranggapan, kata ‘wajib’ dalam pasal a quo memberikan makna, setiap orang, baik anak-anak maupun dewasa, orang miskin maupun orang kaya semuanya wajib ikut program jaminan sosial kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Namun menurut Pemohon, mekanisme pelayanan peserta BPJS Kesehatan tidak sama dengan asuransi swasta. BPJS Kesehatan dalam praktiknya menerapkan rujukan berjenjang dan keterbatasan untuk obat-obatan yang ditanggung oleh BPJS. Sementara dengan asuransi swasta yang diikuti oleh Pemohon mengatur peserta asuransi diperbolehkan memilih dirawat di rumah sakit mana pun yang bekerja sama dengan asuransi swasta dan obat-obatan telah ditanggung sepenuhnya oleh pihak asuransi.
Pemohon tidak bisa memahami alasan Pembentuk Undang-Undang mewajibkan seluruh warga negara harus ikut program BPJS Kesehatan. Jika tujuannya untuk membantu warga yang miskin agar bisa ter-cover pelayanan kesehatan, seharusnya yang diwajibkan ikut adalah orang miskin saja. Sebab negara memberikan bantuan dengan membayar iuran orang miskin ke BPJS sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (4) UU BPJS. Tetapi untuk warga yang mampu akan mencari asuransi yang kredibel dan tidak banyak aturan ketika melakukan klaim saat peserta mengalami sakit. Menurut Pemohon, seharusnya negara tidak perlu memaksa-maksa warga untuk ikut BPJS Kesehatan.
Selain itu, menurut Pemohon, penyediaan fasilitas kesehatan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 harus dimaknai kewajiban negara, bukan kewajiban warga negara. Pembuat undang-undang tidak bisa membedakan antara kewajiban negara dengan kewajiban warga negara. Terkait fasilitas kesehatan yang layak adalah kewajiban negara. Sementara membayar pajak adalah kewajiban warga negara. Selanjutnya dari hasil kewajiban pembayaran pajak oleh warga negara, maka negara mengelola keuangan hasil pembayaran pajak untuk pembangunan fasilitas-fasilitas kesehatan. Pemohon menilai aneh dan jadi kewajiban ganda, jika warga negara sudah diwajibkan membayar pajak juga diwajibkan untuk membayar iuran kesehatan.
Kerugian Ekonomi
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mencermati kerugian yang dialami Pemohon merupakan kerugian ekonomi. “Tapi apakah kerugian ekonomi itu merupakan kerugian konstitusional Pemohon? Nah itulah sebenarnya yang harus Saudara elaborasi. Dengan adanya pasal yang Saudara uji, hak konstitusional yang mana yang merugikan Saudara Pemohon. Itu yang belum tampak dalam permohonan. Saudara hanya menjelaskan peristiwa konkretnya,” tegas Palguna.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyoroti pasal yang diuji Pemohon bahwa Pemohon kurang setuju adanya kewajiban orang asing yang bekerja menjadi peserta BPJS yang notabene untuk melayani warga negara Indonesia. “Maka untuk menjelaskan soal orang asing ini, Pemohon dapat lebih mengelaborasi argumentasi Pemohon dan harus diperkuat lagi teori-teori hukum yang lebih banyak,” kata Manahan.
Kemudian soal petitum Pemohon agar pasal yang diuji tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, Manahan menyarankan Pemohon untuk mencari alternatif lain agar pasal itu tidak dihilangkan. Sebab Pasal 14 UU No. 24/2011 merupakan norma dasar dan tidak perlu dihilangkan. (Nano Tresna Arfana/LA)