Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (15/1/2019) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor 3/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Anggota BPK, Rizal Djalil dengan kuasa hukumnya Irman Putrasidin dan rekan.
Pemohon melakukan uji materiil Pasal 5 ayat (1) frasa “untuk 1 (satu) kali masa jabatan” Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 . Pasal a quo berbunyi, “Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”.
Pemohon mendalilkan, semangat pembatasan Presiden hanya maksimal dua periode, adalah mencegah berulangnya otoriternya kekuasaan pada satu tangan. Namun BPK bukanlah kekuasaan yang dipegang satu tangan, melainkan oleh 9 orang yang bekerja secara kolektif kolegial (Pasal 4 ayat (1) UU BPK) dan juga bukanlah pemegang kekuasaan pemerintahan yang menguasai seluruh lini militer, penegakan hukum hingga sektor ekonomi sumber daya alam.
“Apabila dipelajari lebih dalam, BPK bukanlah organ tunggal melainkan organ negara majemuk yang terdiri dari sembilan anggota BPK dalam mengambil putusan secara kolektif kolegial. Karakter BPK bukanlah pemegang kekuasaan pemerintahan, namun sesungguhnya masih menjalankan fungsi legislatif di bidang pemeriksaan keuangan negara,” urai Irman Putrasidin.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-X/2012, Mahkamah berpendapat bahwa pembatasan masa jabatan Presiden tidak dapat dipersamakan dengan pembatasan yang sama untuk masa jabatan anggota DPR dan DPRD karena sifat jabatan dari kedua jabatan itu berbeda. Presiden adalah jabatan tunggal yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, sehingga memang diperlukan adanya pembatasan untuk menghindari kesewenang-wenangan. Adapun anggota DPR dan DPRD adalah jabatan majemuk yang setiap pengambilan keputusan dalam menjalankan kewenangannya dilakukan secara kolektif, sehingga sangat kecil kemungkinannya untuk terjadinya kesewenang-wenangan.
Menurut Pemohon, mengingat BPK masuk dalam ranah fungsi kekuasasan legislatif sebagaimana original intent UUD 1945, maka BPK seharusnya tidak tunduk pada pembatasan periodisasi 2 (dua) kali masa jabatan (Pasal 5 ayat (1) UU No. 15/2006) sebagaimana kekuasaan legislatif (MPR, DPR, DPD) tidak dibatasi oleh 2 (dua) kali periode masa jabatan.
Pemohon beranggapan, bilamana DPR tidak memiliki batasan periodesasi masa jabatan, maka mutatis mutandis itu juga berlaku bagi anggota BPK karena sifat jabatan dari BPK itu sendiri sama seperti DPR, yaitu majemuk dan kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan serta juga menjalankan fungsi legislatif, sehingga sangat kecil kemungkinan untuk bertindak sewenang-wenang.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU BPK sepanjang frasa “untuk 1 (satu) kali masa jabatan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kedudukan Hukum
Menanggapi dalil-dalil Pemohon, Ketua Panel I Dewa Gede Palguna menasehati Pemohon terkait kedudukan hukum. “Sebaiknya sebelum memasuki bagian kedudukan hukum Pemohon, dalam permohonan dimasukkan norma atau pasal yang diujikan Pemohon. Logikanya, nanti ada uraian kerugian hak konstitusional Pemohon. Sehingga ketika Anda membandingkan kerugian hak konstitusional Pemohon dengan norma yang diujikan,” jelas Palguna.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menilai sistematika permohonan Pemohon tidak ada persoalan berarti dan sudah terlihat sebagaimana format permohonan berperkara di MK. Enny kemudian menyoroti Pasal 5 ayat (1) UU BPK yang diujikan Pemohon.
“Kalau misalnya pasal yang diujikan Pemohon dihilangkan, bagaimana dampaknya terhadap norma-normal pasal yang lain. Seandainya Mahkamah mengabulkan permohonan ini, bagaimana dengan jabatan-jabatan lainnya misalnya di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung?” ujar Enny. (Nano Tresna Arfana/LA)