Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan mahasiswa Australia yang tergabung dalam Australian Consortium for in Country Indonesian Studies (ACICIS), Kamis (10/1/2019) di Ruang Delegasi MK. Kunjungan yang bertujuan untuk mengenal lebih mendalam mengenai MK diterima oleh Peneliti MK Pan Mohamad Faiz. Dalam pembukaannya, Faiz menyambut kedatangan 62 mahasiswa tersebut karena MK memiliki komitmen kuat untuk menjalin hubungan dengan komunitas internasional termasuk pelajar asing.
Faiz juga menjelaskan tentang berdirinya MK sebagai bagian dari reformasi melalui amendemen yang dilakukan pada 1999-2002. Pascareformasi, lanjut Faiz, tata cara bernegara berubah secara fundamental. Sebelum reformasi, kata dia, kekuatan eksekutif begitu kuat, namun pascareformasi terjadi pembagian dan kontrol kekuasaan sesama lembaga negara.
MK, kata Faiz, memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban MK, yakni menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu. “Untuk kewajibannya adalah memberikan putusan atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran presiden dan atau wakil presiden menurut UUD 1945,” ujarnya.
Sementara fungsi MK, lanjut Faiz, adalah menjaga konstitusi, demokrasi, serta ideologi negara. Selain itu, MK juga memiliki peran sebagai pelindung Hak Asasi Manusia dan hak konstitusional warga negara. Terakhir, ujar dia, MK berperan sebagai penafsir sah dari Konstitusi .
Faiz menyebut MK Indonesia menganut model centralised system. Hal ini ditunjukkan dengan kewenangan pengujian undang-undang (judicial review) dilakukan oleh lembaga sendiri yang sifatnya terpisah dengan Mahkamah Agung (MA). Hal ini berbeda dengan american system yang kewenangan ini ada di dalam MA.
Di sisi lain, Faiz menjelaskan MK memiliki sembilan hakim yang berasal dari eksekutif, legislatif, serta yudikatif. Setiap lembaga berhak mengirimkan tiga calonnya ke MK. “Ketika sudah menjabat, hakim-hakim tersebut tidak memiliki hubungan dan tetap bersikap independen dalam memutus perkara,” jelasnya.
Faiz juga menegaskan MK merupakan pelopor lembaga peradilan modern di Indonesia. Hal ini ditunjukkan MK dengan membuka akses kepada publik untuk dapat langsung melihat informasi apapun terkait lembaga melalui aplikasi khusus MK maupun dari laman lembaga. “MK memiliki Vicon di 42 universitas untuk mereka yang tidak dapat datang bersidang ke MK. Juga video streaming persidangan juga penyediaan transkip sidang,” ujarnya.
Selesai pemaparan, pada sesi tanya jawab, Faiz menjawab pertanyaan terkait alasan yang mendasari MK menolak suatu perkara yang masuk. Iamenyatakan ada putusan yang tidak dapat diterima, ditolak, serta dikabulkan. Putusan tidak dapat diterima, kata dia, artinya permohonan tidak memenuhi syarat aturan yang ada, misalkan menguji Peraturan Pemerintah, namun diajukan ke MK. Sementara putusan ditolak artinya secara substansi pasal atau UU yang diujikan tidak bertentangan dengan konstitusi. Terakhir, putusan yang dikabulkan.
Kemudian, menjawab pertanyaan mengenai kewenangan MK membubarkan parpol, Faiz merujuk pada Pasal 40 ayat (3) UU Partai Politik yang melarang parpol menganut ideologi komunisme/marxisme serta leninisme. Hal ini berangkat dari sejarah politik Indonesia yang pernah mencatat terjadinya pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965. Selain itu, parpol dapat dilarang memiliki kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 serta membahayakan keutuhan negara. Dengan adanya MK, lanjut Faiz, proses pembubaran parpol tidak langsung didominasi eksekutif saja. Kewenangan ini juga untuk mengoreksi kejadian pembubaran parpol pada 1960-an secara sepihak oleh Pemerintah. (Arif Satriantoro/LA)