Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil aturan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagaimana tercantum dalam Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), pada Rabu (12/12). Dalam sidang perkara Nomor 77/PUU-XVI/2018 tersebut, hadir Dosen Universitas Krisnadwipayana Basani Situmorang sebagai Ahli Pemerintah yang menegaskan aturan tersebut justru memberi perlindungan untuk kesejahteraaan pekerja.
Sebelumnya, Banua Sanjaya Hasibuan, David M. Agung Aruan, dan Achmad Kurnia selaku karyawan di PT Manito World kembali mengajukan uji materiil Pasal 172 UU Ketenagakerjaan. Pemohon berkeberatan dengan keberlakuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya. Pemohon mendalilkan hak-hak konstitusionalnya potensial dirugikan atas berlakunya Pasal 172 UU Ketenagakerjaan, karena pekerja/buruh dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan menerima kompensasi apabila ia mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan tanpa disertai/dibuktikan dengan rekam medis dari kedokteran.
Basani menyebut ketentuan dari Pasal 172 UU Ketenagakerjaan tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan ketentuan Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan, lanjutnya, tidak mengatur tentang surat keterangan dokter karena pembuktian sakit berkepanjangan telah dibuktikan dengan surat keterangan dokter sebagaimana dalam Pasal 153 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan. Demikian juga keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerjanya menurut surat keterangan dokter. “Dengan demikian Pasal 172 dimaksudkan tentang pengakhiran hubungan kerja atas permintaan pekerja/buruh,” jelasnya.
Sementara, kata Basani, Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menentukan upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya. Terakhir, ujarnya, Pasal 93 ayat (2) huruf a menentukan bahwa pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar upah apabila pekerja/buruh sakit, sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
“Bahwa terhadap pekerja/buruh yang sakit, ketentuan Pasal 93 ayat (3) menentukan upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh tersebut, yaitu untuk 4 bulan pertama dibayar 3 100%, untuk bulan ke 4 kedua dibayar 75%, untuk 4 bulan ke 3 dibayar 50%, dan untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelumnya pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha,” tegasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman. (Arif Satriantoro/LA)