Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan uji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diajukan Alungsyah seorang advokat, tidak dapat diterima. “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya terhadap permohonan Perkara No. 86/PUU-XVI/2018.
Alungsyah selaku Pemohon mendalilkan, norma dalam Undang-Undang MK telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Pemohon yang berprofesi sebagai advokat, melakukan pengujian Pasal 55 UU UU MK. Pemohon sempat mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung, namun uji materiil tersebut harus mengalami penundaan atas dasar pemaknaan terhadap frasa “Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut” dalam pasal a quo. Adanya frasa undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut masih menyisakan persoalan konstitusionalitas karena tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pencari keadilan yang melakukan uji materiil ke Mahkamah Agung.
Menurut Pemohon, persoalan konstitusionalitas tersebut ditimbulkan dari norma a quo ketika pemaknaan penafsiran frasa undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut dalam norma a quo dimaknai secara keseluruhan sebagai alasan yang dianggap cukup untuk menunda tanpa melihat keterkaitannya, materi muatan pasal, ayat, dan atau bagian dalam undang-undang.
Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya menyatakan Pasal 55 UU MK bertentangan dengan Pasal 24A UUD 1945. Terhadap dalil tersebut Mahkamah juga telah memutusnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-VII/2009 bertanggal 2 Februari 2010 yang menyatakan, “Menimbang bahwa apabila Mahkamah menguji materi pasal-pasal yang dimohonkan dalam permohonan a quo, maka secara tidak langsung Mahkamah akan pula menguji materi yang terdapat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945, yang berarti Mahkamah akan menguji konstitusionalitas dari materi UUD 1945.” Sehingga berdasarkan Pasal 60 UU MK, maka permohonan Pemohon tidak dapat dimohonkan kembali dengan menggunakan Pasal 24A UUD 1945 sebagai dasar pengujian.
Selain itu, menurut Mahkamah, Pasal 24A UUD 1945 bukanlah mengatur mengenai hak konstitusional karena Pasal 24A UUD 1945 mengatur mengenai kewenangan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XV/2017 bertanggal 20 Maret 2018 dinyatakan bahwa mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan merupakan sarana bagi rakyat melalui pelaku kekuasaan kehakiman untuk mengontrol produk hukum yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Dengan demikian, seperti disampaikan Wakil Ketua MK Aswanto yang membacakan pendapat Mahkamah, jelas bahwa Pasal 24A UUD 1945 khususnya ayat (1) terkait dengan kewenangan Mahkamah Agung (MA) dan tidak berkait dengan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia, jika pun ada keterkaitan hak konstitusional Pemohon, quod non adalah hak untuk mengontrol produk hukum yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang dan itu tidak menghalangi Pemohon untuk mengontrol produk hukum.
Persoalan berikutnya, Mahkamah menilai bahwa jikapun Pemohon bertindak sebagai advokat yang membela kliennya selaku Advokat yang mewakili kliennya dalam hubungannya dengan Pasal 55 UU MK, tidak ada kerugian hak konstitusional Pemohon selaku advokat karena selaku advokat tetap dapat mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Agung. Persoalan penundaan pengujian hak uji materiil di MA yang tidak kunjung diputus, karena undang-undang yang dijadikan dasar pengujian di MA terus-menerus dilakukan pengujian di MK, tanpa ada kaitannya dengan norma yang diuji oleh klien bukan merupakan kerugian konstitusional tetapi konsekuensi logis dari dipisahkannya kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945 oleh MK dan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh MA.
Penundaan pemeriksaan perkara oleh MA ketika undang-undang yang menjadi dasar pengujiannya sedang diuji oleh MK justru memberi kepastian hukum guna menjaga keutuhan sistem hukum. Di samping itu, agar tidak terjadi pertentangan antara putusan MK yang menjadi dasar pengujian konstitusional undang-undang dengan putusan MA. Dengan demikian, menurut Mahkamah, baik Pemohon selaku perseorangan warga negara Indonesia maupun selaku Advokat tidak ada hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 55 UU MK.
“Oleh karena tidak ada kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya ketentuan Pasal 55 UU MK, maka berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU MK dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” tandas Aswanto. (Nano Tresna Arfana/LA)