Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan hasil akhir perolehan suara dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Deiyai Tahun 2018 Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi bertanggal 18 Oktober 2018 harus dinyatakan sah dan dilaksanakan sebagaimana Keputusan KPU Kabupaten Deiyai Nomor 30/HK.03.1-Kpt/9128/KPU-Kab/X/2018. Hal tersebut diucapkan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 72/PHP.BUP-XVI/2018 tersebut. Pembacaan putusan perkara yang dimohonkan Pasangan Calon Nomor Urut 4 Bupati dan Wakil Bupati Deiyai Inarius Douw dan Anakletus Doo digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (12/12).
Adapun perolehan hasil akhir perolehan suara Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deiyai Tahun 2018 setelah digabung dengan hasil pemungutan suara ulang (PSU) pada Pilbup Deiyai Tahun 2018 pada 16 Oktober 2018 yang digelar pada 12 TPS adalah Paslon Nomor Urut 1 Ateng Edowai dan Hengky Pigai memperoleh 19.300 suara, Paslon Nomor Urut 2 Keni Ikamou dan Abraham Tekege memperoleh 7.552 suara, Paslon Nomor Urut 3 Dance Takimai dan Robert Dawapa memperoleh 15.230 suara, dan Paslon Nomor Urut 4Inarius Douw dan Anakletus Doo memperoleh 18.916 suara.
Lebih lanjut, dalam pertimbangan hukum pula, Wakil Ketua MK Aswanto menjabarkan bahwa meskipun permohonan Pemohon diajukan setelah pemungutan suara ulang pada 12 TPS yang diperintahkan MK melalui Putusan Nomor 35/PHP.BUP-XVI/2018 bertanggal 12 September 2018, namun Pilbup KabupatenDeiyai 2018 tersebut tidaklah berdiri sendiri. Melainkan harus dilihat sebagai bagian dari hasil perolehan suara secara keseluruhan di Kabupaten Deiyai yang selanjutnya berpengaruh pada hasil perolehan suara akhir semua pasangan calon. Dengan demikian, jumlah perbedaan perolehan suara antara Pemohon, yakni 18.916 suara, sedangkan perolehan suara Pasangan Calon Nomor Urut 1 Ateng Edowai dan Hengky Pigai (Pihak Terkait) adalah 19.300 suara, sehingga perbedaan perolehan suara kedua pasangan adalah 384 suara atau 0,6%.
“Maka Mahkamah berpendapat terlepas dari ada atau tidaknya permasalahan terhadap Keputusan KPU Kabupaten Deiyai Nomor 30/HK.03.1-Kpt/9128/KPU-Kab/VII/2018 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Akhir Perhitungan Suara Dari Setiap Distrik di Tingkat Kabupaten Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deiyai Tahun 2018 Pasca Putusan MK bertanggal 18 Oktober 2018, maka Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” ucap Aswanto.
Kesepakatan Masyarakat
Dalam pokok permohonan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan bahwa terkait dengan hasil perolehan suara yang diperoleh dalam PSU yang didalilkan bahwa pihak KPU Kabupaten Deiyai (Termohon) memanipulasi hasil kesepakatan masyarakat Kampung Komauto, Distrik Kapiraya yang telah bersepakat memberikan 1.208 suara pada Pemohon, Mahkamah telah memeriksa permohonan dari berbagai pihak untuk membuktikan dalil tersebut. Akan tetapi Mahkamah tidak menemukan alat bukti Pemohon yang dapat menguatkan dalil tersebut. Bahkan bagi Mahkamah, lanjut Wahiduddin, adalah hal yang tidak masuk akal jika penyampaian kesepakatan masyarakat ke TPS hanya diserahkan pada satu orang saja. Dalam pandangan Mahkamah bahwa pola kesepakatan masyarakat adat (sistem noken) tidak dilakukan secara tertulis, melainkan lisan. Persentuhan kebudayaan yang demikian khususnya yang diterapkan dalan sistem hukumIndonesia, bagi Mahkamah dalam pembuktian suatu perkara diperlukan dua alat bukti. Setelah mendengarkan kesaksian saksi-saksi serta berbagai alat bukti, mahkamah menemukan bahwa kesepakatan adatdalam kasus a quo tidak diambil dalam sekali pertemuan sehingga dimungkinkan adanya perubahan. Menurut Mahkamah, fleksibilitas kesepakatan masyarakat yang demikian dalam perkara Pilbup Deiyai Tahun 2018 akan dan harus dianggap pasti ketika pada hari pmungutan suara hasil kesepakatan tersebut telah disampaikan kepada penyelenggara pemungutan suara.
“Dengan demikian, Mahkamah berpendapat hasil kesepakatan masyarakat Kampung Komauto, Distrik Kapiraya yang harus diakui sebagai kesepakatan akhir adalah yang hasilnya tertulis pada dokumen resmi pemungutan suaradi TPS, yaitu formulis C1-KWK beserta lampirannya. Hasil kesepakatan tersebut hanya dapat dutinjau atau diubah oleh pihak berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” urai Wahiduddin.
Tidak Terbukti
Selanjutnya, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pleno Rekapitulasi Distrik Kapiraya dilakukan dalam proses gelap sehingga hasilnya hanya dicatat di apapn triplek serta saksi Pemohon tidak mengajukan keberatan karena tidak adanya Formulis DA2-KWK, Mahkamah mencermati alat bukti berupa rekaman video yang diberikan tidak diketahui dengan pasti apakah pembacaan hasil perolehan suara di luar ruangan tersebut benar marupakan bagian dari Pleno Rekapitulasi yang dimaksud, “Sehingga Mahkamah tidak mendapatkan cukup bukti yang menyakinkan adanya rapat pleno rekapitulasi di amalam hari yang mengakibatkan pengurangan atau perubahan perolehan suara Pemohon,” jelas Palguna.
Dilakukan Termohon
Sedangkan terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Kepala Distrik dan Sekretaris Distrik Kapiraya yang memerintahkan pemberhentian antarwaktu serta memerintahkan bimbingan teknis bagi KPPS, PPS, dan PPD, Mahkamah tidak menemukan alat bukti yang menguatkan dalil tersebut. Adanya alat bukti yang diserahkan berupa daftar hadir dan foto kegiatan hal tersebut hanya menunjukkan kegiatan bimtek yang dilakukan Termohon. Selain itu, terhadap dalil Pemohon bahwa KPPS dan PPS pengganti adalah penduduk luar Distrik Kapiraya yang ditunjuk untuk memenangkan Pihak Terkait, Mahkamah juga tidak mendapatkan keyakinan adanya peristiwa tersebut karena bukti yang diajukan hanya berupa rekaman seseorang menerangkan ada penyelenggara berasal dari luar daerah, namun tudak ada pembuktian lebih lanjut lagi. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah menilai dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum,” ucap Aswanto.
Selain itu, Pemohon mendalilkan adanya penggantian penyelenggara PSU oleh Termohon di tingkat KPPS, PPS, serta PPD baik di Distrik Kapiraya maupun di Distrik Tigi Barat. Namun dalam pemeriksaan persidangan, tambah Aswanto, terungkap pergantian tersebut bukanlah pemberhentian antarwaktu melainkan pengisian jabatan penyelenggara karena berakhirnya masa jabatan masing-masing penyelenggara yang sebelumnya bertugas pada Pilbup Deiyai Tahun 2018 . Adapun kemampuan membaca dan menulis dari masing-masing penyelenggara pilbup yang dipermasalahkan Pemohon, Mahkamah berpendapat hal tersebut bukan kewenangan Mahkamah mengadili, baik formil maupun materil.
“Berdasarkan penilaian atas fakta hukum, amar putusan, mengadili, dalam pokok perkara, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan Putusan MK dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya. (Sri Pujianti/LA)