Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Kamis (6/12) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 97/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Andi Irmanputra Sidin selaku pakar hukum tata negara yang mewakili anak-anak Indonesia dalam memperjuangkan pendidikan bagi siswa tidak mampu.
Pemohon diwakili Iqbal Tawakal Pasaribu selaku kuasa hukum menguji Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Sisdiknas sepanjang frasa “jenjang pendidikan dasar”. Menurut Pemohon, UU Sisdiknas yang menyatakan, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Wajib belajar yang dibiayai oleh Pemerintah hanya sampai bentuk SD/sederajat dan SMP/Sederajat, karena memaknai pasal ini hanya merujuk pada bentuk jenjang pendidikan dasar dalam (Pasal 17 ayat (2) UU Sisdiknas), padahal seharusnya merujuk minimal bentuk SMA/Sederajat (pasal 169 huruf r UU Pemilu), agar sesuai dengan syarat menjadi calon Presiden/Wakil Presiden ataupun pemimpin negara lainnya yang dipilih secara langsung.
Pemohon berdalih hal ini berarti hanya anak-anak dari golongan yang mampu melanjutkan pendidikan sampai bentuk SMA/sederajat, yang masih berkesempatan mewujudkan mimpinya untuk menjadi calon Presiden/Wakil Presiden kelak di saat mereka dewasa. Sementara anak-anak dari golongan yang tidak mampu harus membunuh mimpinya untuk memiliki kesempatan yang sama atau persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan untuk menjadi calon Presiden/Wakil Presiden.
“Dari uraian di atas karena frasa jenjang pendidikan dasar dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Sisdiknas yang diwajibkan dan wajib dibiayai oleh negara, hanya dimaknai sampai bentuk SMP sederajat. Sementara syarat calon presiden dan wakil presiden negara mewajibkan syarat pendidikan minimal SMA atau sederajat, tidak memberikan jaminan persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan terhadap seluruh golongan anak-anak,” tegas Iqbal di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Selain itu, Pemohon mendalilkan dikarenakan anak-anak belum cakap bertindak secara hukum, maka Pemohon berinisiatif mengajukan perkara tersebut. Oleh karena itu, lanjut Iqbal, sebagai ahli hukum tata negara yang merupakan komponen masyarakat yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan secara spesifik terhadap konstitusi, Pemohon memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, hak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, termasuk pemenuhan hak atas pendidikan. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 20 dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak.
Permohonan Kurang Jelas
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan kuasa hukum Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan Pemohon yang tidak menggambarkan secara komprehensif permohonannya.
“Saya masih belum mendapatkan gambaran yang sangat komprehensif. Saya ambil contoh saja, pernah ada satu kabupaten yang menggratisi warga di daerahnya itu untuk bisa kuliah, dibayari semua oleh pemerintah daerah setempat. Tapi dampaknya dengan cara menggratisi orang untuk kuliah, sementara infrastruktur yang lain itu terhalangi anggarannya akibat tersedot di hal itu. Yang berikutnya, apakah mereka yang sudah sempat kuliah itu ada yang kemudian ingin jadi calon presiden? Kemudian ingin jadi wakil presiden, misalnya? Belum tentu ada di situ. Itu contoh salah satu kabupaten yang pernah saya lihat ya,” tambah Enny.
Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati kedudukan hukum Pemohon. Ia meminta agar Pemohon memperjelas kedudukan hukumnya. “Ada putusan MK yang Anda kutip, katanya untuk permohonan anak karena dianggap belum dewasa, sehingga permohonan kemudian dianggap tidak memenuhi persyaratan. Kalau saya akan coba baca lagi nanti putusan itu, barangkali akan semangat putusan itu ada persoalan dengan legal standing di sana atau saya tidak tahu karena belum membaca. Tapi kalau benar bahwa itu persoalan di legal standing,” kata Suhartoyo. (Nano Tresna Arfana/LA)