Aturan penggabungan tindak pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 63, Pasal 64, serta Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan kebijakan pidana kriminal untuk memberikan keringanan pemidanaan terhadap seseorang dengan pertimbangan kemanusiaan yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Demikian dijelaskan oleh Plt. Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Imam Santoso dalam sidang uji konstitusionalitas KUHAP dan KUHP yang diajukan terpidana kasus Bank Century Robert Tantular, Rabu (5/12).
Dalam perkara Nomor 84/PUU-XVI/2018 tersebut, Robert Tantular melakukan uji formil dan materiil Pasal 272 KUHAP serta Pasal 63, 64, dan 65 KUHP. Rumusan norma dalam pasal-pasal tersebut bagi Pemohon tidak mencerminkan rasa keadilan hukum dan kemanfaatan. Sebab pemberlakuannya menyebabkan Pemohon menjalani hukuman pidana melebihi aturan.
Menanggapi permohonan tersebut, Imam menyebut dalil Pemohon menyatakan Pasal 63 KUHP, Pasal 64 KUHP, dan Pasal 65 KUHP menimbulkan kerugian hak konstitusional Pemohon merupakan dalil yang sumir dan tidak beralasan hukum. Secara materiil, lanjut Imam, pasal-pasal tersebut telah memberikan landasan hukum seseorang untuk mendapatkan keringanan pertanggungjawaban hukum atau untuk menghindari beban pertanggungjawaban pidana bagi seseorang, meskipun pelanggaran tindak pidana tersebut tergolong tindakan seseorang yang tidak wajar.
Adanya kasus konkret yang dialami Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa jenis tindak pidana Pemohon termasuk dalam perbuatan berlanjut (voortgezette handeling), bukan merupakan tindak pidana perbarengan sebagaimana atas empat putusan terkait Pemohon yang diputus berselang jarak yang sangat jauh. “Sesuai alasan tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa jika dikaitkan antara pelanggaran tindak pidana Pemohon dengan proses hukum Pemohon, tidak menemukan adanya pelanggaran konstitusional atau adanya pertentangan antara pasal a quo dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hal tersebut juga dapat dilihat dari beberapa kasus Pemohon yakni Laporan yang diperoleh penyidik berbeda-beda, adanya laporan baru dimana Pemohon sudah menjadi tersangka, jenis tindak pidananya juga berbeda-beda, juga selain pidana perbankan, ada laporan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana umum lainnya yang mana pelapornya masing-masing berbeda,” ujar Imam di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Bukan Kualifikasi Perbarengan
Sementara itu, Katarina Endang Sarwestri yang mewakili Kejaksaan Agung menegaskan perbuatan yang dilakukan Pemohon tidak termasuk dalam kualifikasi perbarengan tindak pidana. Hal ini karena perbuatan yang dilakukan Pemohon bersifat berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya antara satu perbuatan yang telah diputus oleh pengadilan dengan perbuatan lain yang juga telah diputus pengadilan.
Katarina juga menjelaskan bahwa dalam proses persidangan perkara pidana di pengadilan, pihak terdakwa diberikan hak atau kebebasan untuk melakukan pembelaan terhadap tindak pidana yang didakwakan. Dengan demikian, lanjutnya, seharusnya Pemohon menyampaikan keberatan pada saat proses persidangan terhadap ketentuan tindak pidana yang terdapat dalam surat dakwaan sehingga Majelis Hakim dapat mempertimbangkan dan memutus sesuai dengan yang disampaikan oleh Pemohon. “Dengan demikian, tidak tepat Pemohon menyampaikan hal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi,” tegasnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Hudi Suryanto yang mewakili Kepolisian Republik Indonesia. Ia menyebut objek perkara laporan terhadap Pemohon berbeda antara satu dengan lainnya. Begitu pula dengan tanggal pelaporannya. “Di samping itu, ada laporan terhadap Pemohon yang masuk yang mana kedudukan Pemohon pada saat itu sudah menjadi tersangka dan laporan telah diserahkan kepada penuntut umum,” tegasnya.
Selain itu, Hudi mengungkapkan Pemohon juga dilaporkan untuk beberapa perkara dengan objek perkara lainnya, yaitu tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana umum dengan masing-masing pelaporan yang berbeda. (Arif Satriantoro/LA)