Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi) pada Selasa (4/12) siang. Agenda sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon dan Ahli Pemerintah.
Sebelumnya, para Pemohon yang tergabung dalam LPJKP Aceh merupakan perwakilan masyarakat jasa konstruksi di daerah yang telah bekerja kurang lebih 17 tahun dalam mengembangkan jasa konstruksi dengan ditunjang oleh infrastruktur dan sumber daya manusia yang lengkap. Menurut para Pemohon, adanya ketentuan Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UU Jasa Konstruksi, Menteri mengambil hak konstitusional para Pemohon yang selama ini telah menyelenggarakan sertifikasi badan usaha jasa konstruksi secara profesional, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian, terjadi sentralisasi dan birokratisasi penyelenggaraan registrasi dan sertifikasi badan usaha jasa konstruksi.
Terkait permohonan tersebut, Akhmad Suraji selaku Ahli Pemerintah menyampaikan peran penting jasa konstruksi bagi suatu negara. Industri konstruksi merupakan sistem ekonomi yang menghasilkan bangunan atau infrastruktur sebagai gross fixed capital formation atau pembentukan modal bruto tetap bagi kemajuan ekonomi dan sosial suatu bangsa.
“Tidak ada satu negara di dunia ini tanpa kegiatan konstruksi. Konstruksi mengubah bentang alam menjadi lingkungan terbangun. Konstruksi membentuk watak dan jati diri, serta produktivitas manusia. Konstruksi memberi ciri-ciri peradaban bangsa. Konstruksi melibatkan rantai penyediaan barang atau material dan jasa-jasa yang sangat banyak. Konstruksi memiliki risiko tinggi terhadap keselamatan pekerja, publik, harta, benda, dan lingkungan. Sebagai pembentuk lingkungan terbangun, konstruksi berimplikasi terhadap kepentingan hajat hidup orang banyak karena panjangnya backward dan forward linkages dari kegiatan konstruksi,” terang Suraji menanggapi permohonan Nomor 70/PUU-XVI/2018.
Suraji pun menambahkan dengan peranan yang penting, maka negara wajib ikut serta dalam memberikan perlindungan. “Kealpaan negara melakukan kegiatan konstruksi untuk mendirikan satu struktur bangunan di suatu pulau atau wilayah akan berimplikasi kehilangan kedaulatan. Oleh karena itu, negara harus hadir di sektor ini untuk memberikan perlindungan perekonomian nasional, perlindungan keselamatan masyarakat atau publik, perlindungan lingkungan, perlindungan kebudayaan, dan bahkan perlindungan kedaulatan,” tegasnya Suraji.
Pembangunan Nasional
Maruarar Siahaan yang dihadirkan oleh Pemohon mengatakan Undang-Undang Jasa Konstruksi adalah bidang kegiatan pembangunan ekonomi yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan bersama.
“Jasa konstruksi itu dirumuskan baik dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017. Jasa konstruksi pada dasarnya merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya pembangunan nasional,” kata Maruarar selaku praktisi hukum dan mantan Hakim MK.
Di pihak lain, sambung Maruarar, Undang-Undang Jasa Konstruksi merumuskan bahwa sektor jasa konstruksi merupakan kegiatan masyarakat yang mewujudkan bangunan yang berfungsi sebagai pendukung atau prasarana aktivitas sosial ekonomi, guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional.
Open Legal Policy
Sedangkan Ahli Pemerintah lainnya, Bayu Dwi Anggono menegaskan bahwa pengaturan dalam UU Jasa Konstruksi termasuk kategori kebijakan pembentuk undang-undang dalam rangka melengkapi kekurangan pengaturan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang masuk klasifikasi kebijakan hukum terbuka. Meskipun terbuka, namun MK telah memberikan batasan bagaimana suatu kebijakan hukum itu tidak kemudian berubah menjadi sebuah kesewenang-wenangan.
“MK jelas dalam Putusan Nomor 86/PUU-XI/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat telah memberikan batasan-batasan agar kebijakan hukum terbuka yang demikian tidak membawa kerugian konstitusionalitas, utamanya tidak membawa kerugian bagi masyarakat secara umum. Menurut MK, pengaturan atau pembatasan oleh pembentuk undang-undang tidak dapat pula dilakukan dengan sebebas-bebasnya, melainkan antara lain harus memperhatikan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum,” tandas Bayu sebagai pakar hukum. (Nano Tresna Arfana/LA)