Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (3/12). Sebagaimana diketahui, para Pemohon Perkara Nomor 91/PUU-XVI/2018 ini menguji Pasal 87 ayat (2) frasa “dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dapat diberhentikan” serta Pasal 87 ayat (4) huruf b dan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN.
Johni Bakar selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan sejumlah perbaikan, di antaranya menyampaikan kasus konkret yang dialami Pemohon. Pemohon menyebut adanya kesalahan-kesalahan administrasi yang berdampak pidana dikarenakan ketidaktahuan, ketakutan, tekanan, dan relasi kuasa yang timpang dalam proses pelaksanaan kegiatan yang dialami para Pemohon dan ASN pada umumnya.
“Apabila bawahan tidak melaksanakan perintah atasan, maka juga berisiko mendapatkan sanksi karena dianggap tidak setia dan tidak loyal kepada atasan. Oleh karena itu, penting mengurai kualifikasi perbuatan atas kesalahan motif setiap terdakwa yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil dan menjadi dasar pencabutan sebagian atau seluruh hak padanya,” papar Johni kepada Ketua MK Anwar Usman selaku pimpinan sidang.
Para Pemohon juga mempertegas permohonan terkait amar putusan pengadilan. Bahwa dalam amar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, para Pemohon tidak ada diktum yang memerintahkan mencabut sebagian atau seluruh hak terdakwa sebagai PNS kepada para Pemohon, apalagi memberikan perintah memberhentikan tidak dengan hormat.
“Lebih khusus, Pemohon II telah kehilangan pekerjaan yang telah dijamin Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Padahal kesalahan Para Pemohon sudah dengan menjalani pidana dan hukuman administrasi yang telah diuraikan sebelumnya. Para Pemohon sudah mengabdi kepada ASN, tentu akan menguji dan mengusik rasa keadilan, apabila kesahalahan yang bermula pada kesalahan adminitrasi yang dilakukan oleh Pemohon berakibat hilangnya pekerjaan. Hal ini tentu tidak hanya merugikan para Pemohon, tetapi juga keluarga inti para Pemohon yang bergantung pada Pemohon,” urai Johni.
Selain itu, para Pemohon mengungkapkan bahwa dalam KUHP dikenal pidana tambahan tentang pencabutan hak tertentu. Dalam konstruksi hukum pidana, pencabutan hak tertentu merupakan salah satu pidana tambahan sebagaimana juga diatur dalam Pasal 10 KUHP yang menyebutkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.
Sebagaimana diketahui, pengujian UU Nomor 5 Tahun 2014 ini diuji oleh Novi Valentino bersama empat Pemohon lainnya. Para Pemohon menguji Pasal 87 ayat (2), Pasal 87 ayat (4) huruf b dan Pasal 87 ayat (4) huruf d UU Nomor 5/2014. Pemohon I (Novi Valentino) bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil berdasarkan SK Bupati Bengkulu Utara. Pemohon I telah didakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, secara bersama-sama pada Persidangan Tingkat Pertama Negeri Kelas 1A Bengkulu, melalui Putusan Nomor 18/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Bgl, tanggal 2 Februari 2016 dan dijatuhi hukuman pidana 1 tahun 3 bulan. Saat ini Pemohon I telah selesai menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 2B Arga Makmur, pada 30 Mei 2017 sebagaimana Surat Keterangan Nomor W8.PAS.3.PK.01.01.02-275 tertanggal 24 September 2018 yang ditandatangani Kepala Lembaga Pemasyarakatan.
Sedangkan Pemohon II telah diberhentikan sementara, Surat Keputusan Gubernur Bengkulu Nomor P.635 Tahun 2016. Kemudian Pemohon II juga sudah tidak berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Sementara Pemohon III juga telah didakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Termasuk juga Pemohon IV pada pokoknya juga didakwa secara bersama-sama dengan dakwaan tindak pidana korupsi. Namun Pemohon V yang agak berbeda. Pemohon V ini sudah dijatuhkan pidana penjara dengan dakwaan tindak pidana korupsi, kemudian juga telah diberikan sanksi oleh Gubernur melalui SK Keputusan Gubernur Sumatera Utara.
Para Pemohon mengharapkan penerapan hukum yang tetap berasal pada due process of law dan rasa keadilan. Menurut para Pemohon, upaya pemberantasan tindak korupsi ini seolah-olah menjadi ranah pembantaian bagi para Pemohon dan ASN. Sebab dalam praktik yang dialami oleh para Pemohon apabila peradilan membebaskan para terdakwa (Para Pemohon), maka Majelis Hakim yang memeriksa justru yang akan mendapat sorotan dari publik, Komisi Yudisial, opini pers, meskipun secara publik juga tidak mengetahui persis peran dan perbuatan terdakwa secara materiil. (Nano Tresna Arfana/LA)