Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Senin (12/11) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon, Bivitri Susanti selaku pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Bivitri membacakan poin-poin terkait makalah berjudul “Gagasan Crafting Democracy dan Legislatif Berkualitas”. Bivitri berangkat dari kenyataan bahwa lembaga legislatif yang profesional dan etik ini tidak hanya profesional, tetapi juga etik memang tentu saja bisa menjadi alat bagi negara dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat.
“Namun, kita juga sangat pahami bahwa demokrasi berada di dunia politik sehingga harus melewati tantangan untuk meraih kekuasaan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya lebih sempit. Saya melihat masuknya calon-calon legislatif yang direkrut partai politik untuk tujuan mengumpulkan suara. Saya kira ini suatu hal yang banyak diungkapkan dalam banyak sekali laporan penelitian. Ini merupakan hal yang sangat sering terjadi di Indonesia. Fenomena ini sering disoroti karena dianggap sebagai cermin keinginan parpol untuk semata meraih kursi sebanyaknya,” papar Bivitri kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Hal yang kedua, sambung Bivitri, kegagalan parpol dalam melakukan pendidikan politik. Terus-menerus hal ini terjadi, apalagi sekarang ini semakin tinggi angka parliamentary threshold, semakin naik menjadi 4%. Penting bagi parpol untuk meraih jumlah suara sebanyak mungkin dan nampaknya menjadi tidak terlalu penting untuk membuat strategi jangka panjang mengenai cara mendapatkan suara sesuai tujuan parpol.
“Yang lebih penting adalah betul-betul memenuhi parliamentary threshold supaya tidak ada kursi yang nantinya akan terbuang. Kita sudah lihat banyak survei yang menunjukkan beberapa partai yang sudah bisa dipastikan tidak akan mencapai Senayan karena tidak mencapai parliamentary threshold,” ucap Bivitri.
Oleh karena itu, kata Bivitri, makalah yang disajikannya mengulas dua hal. Pertama, gagasan pentingnya mendesain mekanisme demokrasi sedemikian rupa, agar tercapai model demokrasi yang sesuai dengan konteks. Dalam kaitannya dengan hal ini, ia menggunakan cara pandang crafting democracy. “Kedua, sesuai dengan perkara yang sedang diperiksa, perlu ada telaah mengenai bagaimana letak persyaratan calon anggota DPR dan DPRD dalam konteks batu uji yang digunakan yaitu Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Singkat kata, saya melihat bahwa kerangka pikir mengenai crafting democracy ini, saya gunakan untuk bisa masuk pada pemahaman hukum tata negara yang tidak tekstual belaka. Melainkan juga sebagai suatu cara pemahaman hukum untuk mendesain model demokrasi yang kontekstual. Bila kita hanya melihat pada teks yang ada dalam konstitusi dalam perkara ini, kita akan cenderung terperangkap pada model yang diputuskan justru hanya oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan langsung terhadap model itu. Jadi, justru dengan menggunakan pendekatan crafting democracy,” urai Bivitri.
Bivitri berharap bangsa Indonesia akan mampu mempunyai cakrawala yang lebih luas. “Dibalik apa yang dinginkan oleh elite politik menuju cita-cita penting gagasan demokrasi. Gagasan ini sebenarnya serupa dengan frasa yang kerap digunakan dalam diskusi hukum tata negara yang dipopulerkan salah satunya oleh Giovanni Sartori, yaitu constitutional engineering. Jadi, istilah crafting democracy maupun constitutional engineering ini sering digunakan untuk melihat bagaimana desain konstitusional perlu dibuat dengan pertimbangan-pertimbangan matang dengan melihat pada hasil yang hendak dicapai. Cara mencapai hasil itu dan dengan melihat bagaimana konteks aktor politik dan masyarakat sipil yang akan melaksanakan konstitusi tersebut,” imbuh Bivitri.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 67/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Dorel Amir anggota Partai Golkar. Pemohon telah mendaftarkan diri sebagai bakal caleg (bacaleg) anggota DPR di daerah pemilihan Sumatera Barat II melalui Partai Golkar. Pemohon merasa dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 240 ayat (1) huruf n UU No. 7/2017 terkait tidak adanya pengaturan mengenai batasan waktu keanggotaan bagi anggota partai politik untuk menjadi bacaleg.
Sebagai anggota biasa di Partai Golkar, Pemohon tidak serta merta bisa menyusun persyaratan rekrutmen bacaleg di parpol yaitu mengenai persyaratan bacaleg yang harus sekurang-kurangnya harus menjadi anggota partai dalam batasan waktu tertentu. Sepanjang sepengetahuan Pemohon, di Partai Golkar tidak ada keanggotaan baru yang dibuka pada saat menjelang pendaftaran caleg.
Pemohon mengamati banyak bacaleg yang sesungguhnya bukan kader dari partai tersebut yang didaftar sebagai bacaleg. Pemohon menduga bahwa caleg ini direkrut sebagai bacaleg karena memiliki modal lain selain kualitas dan pemahaman pendidikan politik. (Nano Tresna Arfana/LA)