Sidang uji materiil terkait aturan pendidikan profesi kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (15/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang lanjutan perkara dengan Nomor 45/PUU-XVI/2018 dan 47/PUU-XVI/2018 tersebut, Staf Ahli Menteri Bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan Chatarina Muliana Girsang hadir memberikan keterangan mewakili Pemerintah.
Pemerintah berpendapat Pemohon tidak melihat secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang diuji. Chatarina menyebut ketentuan Pasal 15 UU Sisdiknas dan Penjelasannya termasuk satu ketentuan mengenai sistem pendidikan yang membagi jenis pendidikan ke dalam bentuk pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan pendidikan khusus. Jenis pendidikan sebagai bagian dari sistem pendidikan merupakan amanat Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Sebagai suatu sistem, lanjut Chatarina, maka pembaca UU Sisdiknas harus secara keseluruhan. Dalam hal ini pendidikan profesi telah diatur oleh UU Sisdiknas dengan memberi peran kepada organisasi profesi dalam penyelenggaraan pendidikan secara umum.
“Dalam hal ini pendidikan profesi telah diatur oleh Undang-Undang Sisdiknas dengan memberi peran kepada organisasi profesi dalam penyelenggaraan pendidikan secara umum. Dengan demikian Permohonan Pemohon yang hanya melihat pada beberapa pasal sebagaimana dimohonkan diuji merupakan pemahaman yang tidak menyeluruh terhadap sistem pendidikan nasional,” jelasnya.
Selanjutnya, Chatarina menyebut ketentuan Pasal 20 ayat (3) UU Sisdiknas mengatur mengenai program pendidikan yang dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Dalam hubungannya dengan dalil Pemohon ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Sisdiknas ini bersifat norma terbuka yang ditandai dengan kata ‘dapat’ yang berarti adalah bagi perguruan tinggi tidak selalu dapat membuka atau menyelenggarakan program profesi, tetapi harus memenuhi persyaratan tertentu.
“Dalam konteks ini Pasal 20 ayat (3) berkaitan dengan Pasal 5 Undang-Undang Sisdiknas, khususnya dalam kaitan dengan profesi. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Sisdiknas menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam pendidikan profesi di bidang pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan,” tegasnya.
Selanjutnya, Chatarina mengungkapkanPasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (6) UU Sisdiknas pada pokoknya adalah berkaitan dengan kewenangan pemberian gelar akademik profesi atau vokasi dan penggunaan gelar serta sanksi administrasi. Terhadap ketentuan ini, lanjutnya, Pemerintah menyampaikan bahwa ketentuan Pasal 21 UU Sisdiknas mempunyai keterkaitan dengan ketentuan Pasal 20 UU Sisdiknas, yakni jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan perguruan tinggi mempunyai kewenangan untuk memberikan gelar. Artinya, menjadi keniscayaan penyelenggara pendidikan tinggi mempunyai pula kewenangan dalam memberikan gelar. Ketentuan tersebut tidak menutup atau meniadakan organisasi profesi dalam peran sertanya untuk menyelenggarakan pendidikan profesi termasuk dalam hal pemberian gelar.
Selain itu, Chatarina memaparkan jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 26 ayat (6) UU Dikti, kedua pasal tersebut merupakan konkretisasi dari ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang Sisdiknas mengenai penyelenggaraan pendidikan profesi, dan pemberian gelar akademik profesi atau vokasi, dan penggunaan gelar, serta sanksi administrasi.
Tidak Dapat Dilepaskan
Dalam kesempatan yang sama, MK juga menggelar sidang mengenai uji UU Dikti (Perkara Nomor 47/PUU-XVI/2018) yang juga dimohonkan oleh Sabela Gayo. Dirjen Kelembagaan Iptek Dikti Patdono Suwignjo mewakili Pemerintah menyatakan penyelenggaraan pendidikan profesi tidak bisa serta-merta dilepas dari Pendidikan Tinggi. Keinginan Pemohon, jelasnya, agar organisasi profesi dapat menyelenggarakan pendidikan profesi secara mandiri merupakan keinginan yang tidak berdasar. Organisasi profesi dapat berperan serta di dalam penyelenggaraan pendidikan profesi yang memberikan sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi. Hal ini karena penyelenggaraan pendidikan profesi dilakukan perguruan tinggi dengan bekerja sama dengan salah satunya adalah organisasi profesi. “Karena itu, penerbitan sertifikasi profesi dilakukan oleh perguruan tinggi yang bekerja sama dengan organisasi profesi,” jelasnya.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 44 ayat (1) UU Dikti, Patdono menjelaskan sertifikat kompetensi bukanlah untuk keahlian advokat atau pengacara pengadaan. Melainkan keahlian lainnya, baik dalam cabang ilmunya maupun prestasi di luar bidang studinya. Dengan demikian, tegas dia, tidak tepat bila Pemohon menyamakan sertifikat kompetensi dengan sertifikat profesi.
“Bahwa secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan kedudukan Pemohon yang mendalilkan pintu masuk pengacara pengadaan adalah bagian dari advokat, maka Pemerintah pada kesempatan ini menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan advokat tidak tepat jika hanya dilaksanakan oleh organisasi profesi advokat tanpa melibatkan lembaga perguruan tinggi, terutama terkait dengan struktur kurikulum pendidikan advokat tersebut. Organisasi profesi advokat pada dasarnya dapat menyelenggarakan pendidikan khusus, baik mengenai kode etik profesi advokat maupun pendalaman terhadap substansi hukum yang berkembang dalam masyarakat, serta keterampilan tertentu agar setiap advokat memiliki kemampuan intelektual, moral, dan profesional,” tegasnya.
Sebelumnya, Pemohon Sabela Gayo yang merupakan Ketua Umum Asosiasi Pengacara Pengadaan Indonesia (APPI) meminta agar penyelenggaraan pendidikan profesi menjadi kewenangan absolut asosiasi profesi. Ia menilai aturan mengenai pendidikan profesi sebagaimana diatur di dalam UU Sisdiknas dan UU Dikti telah membatasi ruang gerak APPI. Hal ini dinilai karena aturan a quo telah merampas hak konstitusional APPI sebagai badan hukum perkumpulan/asosiasi profesi untuk mengembangkan diri melalui program-program pendidikan dan pelatihan pengacara pengadaan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup anggotanya. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Asosiasi Profesi adalah satu-satunya organisasi yang berhak dan berwenang secara hukum dan perundang-undangan dalam memberikan pendidikan profesi. Untuk itulah, Pemohon meminta agar pasal-pasal yang dimohonkan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dibatalkan keberlakuannya.(Arif Satriantoro/LA)