Sejumlah advokat menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (5/7). Pemohon perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 mempermasalahkan hak imunitas profesinya. Para Pemohon, yakni Yohanes Mahatma Pambudianto, Hermawanto, Herwanto, Tubagus Ikbal Nafinur Aziz, serta Firly Noviansyah. Pemohon menguji Pasal 16 UU Advokat yang berbunyi, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan”.
Ryan Muhammad selaku kuasa hukum Pemohon menyebut Pasal 16 UU Advokat tersebut tidak memberikan jaminan perlindungan, kepastian hukum yang adil bagi Pemohon sebagai advokat. Menurutnya, pada kenyataannya, masih banyak kasus advokat dipanggil atau diperiksa oleh penyidik maupun pengadilan, baik dalam dugaan melakukan tindak pidana, maupun melakukan perbuatan melawan hukum dalam konteks perdata tanpa melalui proses pemeriksaan di dewan kehormatan organisasi advokat. "Padahal menurut kami, mengacu pada Undang-Undang Advokat, hak imunitas advokat sendiri dilindungi oleh Undang-Undang Advokat, bahkan juga dilindungi oleh Undang-Undang Bantuan Hukum," jelasnya.
Selanjutnya, dalam permohonannya, Pemohon menitikberatkan persoalan mengenai pihak yang berwenang dalam menilai itikad baik advokat sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 UU Advokat. Menurut Pemohon, Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (DKOA) merupakan satu-satunya lembaga yang berhak menilai itikad baik advokat secara objektif. Artinya, ada mekanisme yang harus ditempuh yakni melalui pemeriksaan DKOA sebelum kemudian dikeluarkan persetujuan apabila dalam pemeriksaan terbukti melakukan tindakan atau perbuatan dalam menjalankan tugasnya tidak berdasarkan itikad baik. Persetujuan DKOA inilah bentuk mekanisime hak imunitas seorang advokat yang sedang menjalankan tugasnya agar terbebas dari ketakutan dan kekhawatiran dari penilaian subjektif dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan (Perdata atau Pidana) yang dilakukan oleh advokat saat sedang menjalankan tugas profesinya dalam membela kepentingan hukum kliennya. Hal ini tentunya juga sebagai bentuk jaminan dan perlindungan serta upaya dalam menjaga martabat dan kehormatan advokat.
"Karena dewan kehormatan organisasi advokat tidak hanya mengurus ranah kode etik, akan tetapi juga memiliki kewenangan untuk memeriksa advokat apabila diduga melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran peraturan perundang-undangan. Hal ini dijelaskan pada Pasal 6 huruf e Undang-Undang Advokat," sambung Ryan dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut.
Untuk itulah, Pemohon meminta agar Majelis Hakim menyatakan Pasal 16 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik” tidak dimaknai “Pengajuan Permohonan Gugatan Perdata ataupun Proses Pemanggilan dan permintaan keterangan sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana kepada Advokat yang sedang menjalankan tugas profesinya dapat dilakukan setelah mendapatkan Keputusan hasil pemeriksaan dari Dewan Kehormatan Profesi Advokat”.
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra mempermasalahkan kedudukan hukum Pemohon. Pendalilan kerugian konstitusional pun tidak terurai dalam posita. Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul meminta penggunaan istilah “Dewan Kehormatan Profesi Advokat” digunakan secara tepat. Sebab istilah tersebut sudah diatur di Pasal 27 UU Advokat. “Ini saya lihat di petitum istilah yang dipakai berbeda. Harusnya tidak boleh demikian,” tegasnya. (ARS/LA)