Aturan yang menetapkan jumlah keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota sebanyak 3 atau 5 orang, pembentuk undang-undang dengan sendirinya telah mengabaikan dan atau mengaburkan esensi adanya pengakuan terhadap pemerintahan yang memiliki karakteristik kepulauan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan. Sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Hal ini disampaikan oleh Sherlock Halmes Lekipiouw selaku ahli Pemohon dihadirkan dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pada Selasa (10/7) siang
“Ketentuan a quo juga berdampak terhadap pertentangan kaidah hukum yang berakibat pada ketidakjelasan batas suatu kaidah hukum dan jaminan kepastian hukum. Kaidah hukum dalam hal ini diartikan sebagai isi dari aturan hukum. Isi kaidah adalah keseluruhan ciri yang mewujudkan kaidah itu. Sedangkan lingkup kaidah menurut Bruggink adalah wilayah penerapan kaidah yang bersangkutan. Ada dua dalil yang dikemukakan Bruggink yaitu isi kaidah menentukan wilayah penerapan dan isi kaidah berbanding terbalik dengan wilayah penerapan,” tambah Sherlock menanggapi permohonan Nomor 38/PUU-XVI/2018 tersebut.
Lebih lanjut, Sherlock menerangkan, aturan hukum dan penerapan yang tidak konsisten akan memengaruhi jaminan kepastian hukum. Sedangkan jaminan kepastian hukum diperlukan oleh KPU dalam penyelenggaraan pemilu sebagai suatu legal entity untuk mendukung independensi operasionalisasinya. Oleh karenanya, syarat dan atau kriteria yang digunakan untuk pembatasan jumlah keanggotaan KPU, bahwa undang-undang a quo yang menjadi dasar permohonan tidak hanya dimaknai sebatas pada alasan-alasan formil dalam pembentukannya. “Namun harus diletakkan dalam substansi konstitusi, yakni berkenaan dengan esensi keadilan yang substantif yakni perlindungan atas hak-hak konstitusional itu sendiri. Dengan demikian, pengaturan yang demikian adalah nyata bertentangan dengan UUD,” ucap Sherlock.
Tidak Logis
Sementara itu pengamat pemilu, Titi Anggraini memberikan pendapat terhadap dalil permohonan Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018 tentang pengurangan anggota PPK. Menurutnya, pembuat undang-undang telah mengabaikan beban besar yang akan ditanggung PPK akibat pergerakan rekapitulasi yang langsung ke tingkat kecamatan. Ia menilai kebijakan pembuat undang-undang tidak logis dan tidak menghitung proses potensi masalah yang akan timbul di lapangan terkait dengan ancaman pada pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi. Ketidaklogisan tersebut, lanjutnya, sebab sebagai pembanding adalah Pemilu 2009. Pemilu 2009 diselenggarakan untuk memilih hanya empat posisi kecuali DKI Jakarta, anggota PPK di tingkat kecamatan terdiri dari lima orang.
"Level pemilihan kepala daerah yang notabene tugas dan teknis rekapitulasinya jauh dari sederhana dibandingkan dengan proses rekapitulasi pemilu legislatif, jumlah PPK yang diatur Undang-Undang Pilkada sejumlah lima orang. Bagaimana mungkin untuk Pemilu 2019 yang menyelenggarakan pemilu legislatif dengan instrumen rekapitulasi yang lebih rumit dan kompleks, ditambah dengan melakukan rekapitulasi pemilu presiden dan wakil presiden, jumlah PPK hanya tiga orang saja,” tegas Titi.
Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 31/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Erik Fitriadi, dkk. Para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf c, ayat (2) dan ayat (3) serta Lampiran I UU Pemilu. Pemohon Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018 mendalilkan penetapan jumlah 3 atau 5 orang anggota KPU Kabupaten/kota serta jumlah 3 orang anggota PPK tersebut tidak mempertimbangkan faktor perbedaan dan keragaman alam geografis Indonesia, khususnya wilayah Indonesia bagian tengah dan timur yang terdiri dari ribuan pulau dan pegunungan dengan tingkat kesulitan daya jangkau yang beragam. Ada daerah pemilihan yang bergantung pada cuaca, ada yang tidak dapat ditempuh melalui jalan darat, serta masih ada pula daerah pemilihan yang hanya bisa ditempuh melalui jalan kaki. Menurut Pemohon, pembatasan dan larangan bagi calon anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPUKabupaten/Kota yang terpilih untuk mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
Sementara Victor F. Sjair sebagai Pemohon Perkara 38/PUU-XVI/2018 mendalilkan Pemohon sebagai ketua merangkap anggota KPU Kabupaten Kepulauan Aru periode 2014-2019, merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf c, ayat (2) dan ayat (3) serta Lampiran I UU Pemilu yang membatasi hak konstitusional Pemohon untuk menjadi anggota KPU Kabupaten Kepulauan Aru periode 2019-2024. Pemohon beranggapan, ketentuan tersebut tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon. Sebab meski Pemohon tetap mencalonkan diri sebagai anggota KPU Kabupaten Kepulauan Aru periode 2019-2024, namun tidak menjamin Pemohon dapat terpilih kembali sebagai Anggota KPU Kabupaten Kepulauan Aru. Karena anggota KPU Kabupaten Kepulauan Aru yang dipilih hanya berjumlah 3 orang, bukan 5 orang seperti daerah lain di Indonesia sesuai Lampiran I UU Pemilu.(Nano Tresna Arfana/LA)