Aturan mengenai asuransi korban kecelakaan memberikan perlindungan bagi masyarakat luas. Selain itu, ketentuan tersebut diharapkan dapat memberikan kesadaran bagi pengendara kendaraan motor lebih tinggi terhadap faktor-faktor internal yang sebenarnya dapat diantisipasi dan dapat dihindari oleh pengendara pada kecelakaan tunggal.
Demikian disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Perhubungan Bidang Hukum dan Reformasi Birokrasi Umar Aris mewakili Pemerintah dalam sidang lanjutan uji materiil Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan , Selasa (5/12). Agenda Perkara Nomor 88/PUU-XV/2017, yakni mendengarkan keterangan Pemerintah.
Dalam sidang tersebut, Aris menjelaskan ketentuan a quo tidak diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) karena undang-undang a quo memang tidak diperuntukkan untuk meng-cover kecelakaan tunggal. “Hal ini merupakan kebijakan dari pembentuk undang-undang dan merupakan suatu syarat dan kondisi yang dilindungi dalam suatu asuransi bahwa ada keadaan yang ditanggung dan keadaan apa yang tidak ditanggung,” jelasnya.
Aris menerangkan bahwa Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34/1964 mengatur bahwa dana jaminan kecelakaan yang diberikan kepada korban atau ahli waris, baik mati atau cacat adalah terhadap korban yang kecelakaannya yang disebabkan oleh angkutan lalu lintas jalan. Sehingga berdasarkan ketentuan ini, lanjutnya, dapat disimpulkan bahwa kecelakaan yang dimaksud dalam UU Nomor 34/1964 ini adalah kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan dan bukan terhadap kecelakaan tunggal.
“Uraian tersebut, jelas bahwa pembentuk undang-undang telah menetapkan bahwa kecelakaan tunggal tidak termasuk dalam risiko kecelakaan sebagaimana ditanggung oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Bahwa hal tersebut didasarkan pada pertimbangan logis bahwa kecelakaan tunggal pada prinsipnya kecelakaan yang tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Namun lebih dikarenakan karena faktor internal korban kecelakaan itu sendiri, antara lain yaitu mengantuk, mabuk, kelalaian pengendara kendaraan, dan lain sebagainya,” tegasnya.
Terkait pokok permohonan, Aris menyebut permohonan Pemohon tidak berdasar. “Pokok permasalahan yang diujikan tergolong constitusional complaint, bukan constitusional review,” tegasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Aris melanjutkan tidak ada hubungan sebab akibat/kausalitas antara kerugian Pemohon dengan pasal yang diujikan karena permasalahan yang diuji mengenai masalah Pemohon yang tidak mendapat santunan. Menurutnya, permohonan tersebut tergolong masalah pemberlakuan norma dan bukan masalah konstitusionalitas.
“Sehingga tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji karena ketentuan undang-undang yang diuji oleh Pemohon memang tidak untuk mengatur mengenai kecelakaan tunggal. Berdasarkan hal tersebut di atas, pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing),” terangnya.
Dalam permohonannya, Pemohon Maria Theresia Asteriasanti yang merupakan warga Surabaya merasa sangat dirugikan karena PT Jasa Raharja menafsirkan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34/1964 tidak berlaku untuk kecelakaan tunggal. Pemohon merupakan istri dari Rokhim, korban kecelakaan yang meninggal pada 24 Juli 2017. Suami Pemohon kala itu sedang pulang dari tempat kerja dinihari dan mengalami kecelakaan tunggal. Akan tetapi, ketika Pemohon hendak meminta ganti rugi asuransi atas meninggal suaminya, hal tersebut tidak bisa terwujud. Jasa Raharja mengatakan sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 34/1964 yang berhak mendapatkan santunan adalah orang yang berada di ‘luar alat angkutan’. (ARS/LA)