Kompleksitas hubungan antara hukum internasional dan hukum tata negara selalu menjadi topik yang hangat untuk didiskusikan di kalangan para akademisi dan praktisi hukum. Pertanyaan yang seringkali muncul mengenai posisi kedudukan hukum internasional jika dibandingkan dengan konstitusi dan hukum nasional suatu negara. Lebih lanjut, pertanyaan lainnya mengenai pengaruh yang dibawa hukum internasional bagi lembaga peradilan dalam memutus perkara-perkara konstitusi.
Berbagai pertanyaan tersebut dilontarkan sebagai pemantik awal dalam kuliah tamu (guest lecture) dari Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna di The Hague University, Belanda, dengan tema “The Influence of International Law onthe Decisions of the Constitutional Courtof Indonesia” pada Selasa (24/10). Di hadapan lebih dari seratus peserta kuliah tamu yang terdiri dari para dosen pengajar, mahasiswa internasional, dan praktisi dari berbagai peradilan internasional, Palguna menjelaskan bahwa hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional masih menjadi perdebatan panjang bagi para akademisi, khususnya antara mereka yang mengusung doktrin dualismatau monoism.
Di satu sisi, menurut Palguna, para akademisi yang berpendapat bahwa hukum internasional dan hukum nasional, termasuk hukum tata negara, merupakan cabang hukum yang terpisah, maka antara keduanya tidak akan terlalu menemui permasalahan hierarki. Namun di sisi lain, lanjutnya, mereka yang mempertimbangkan bahwa kedua cabang hukum tersebut merupakan satu kesatuan, maka akan muncul isu penting mengenai hierarki dan keberlakuan hukum antara keduanya.
“Konstitusi Indonesia, UUD 1945, tidak mengatur secara jelas mengenai kedudukan hukum internasional dalam sistem hukum di Indonesia, sehingga tidak ada ketentuan tegas apakah Indonesia menganut prinsip dualism atau monoism. Kalau pun menganut monoism, model mana harus diterapkan? Karena pada praktiknya beberapa negara memiliki model penerapan yang berbeda-beda,” jelas Palguna yang menjadi hakim Indonesia pertama yang diundang secara khusus sebagai dosen tamu di The Hague University.
Meskipun tidak ada pasal-pasal di dalam UUD 1945 yang menegaskan posisi hukum internasional, namun Palguna menjelaskan bahwa secara konstitusional, terdapat kesepakatan bersama dari para pendiri bangsa yang dituangkan di dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia harus berpartisipasi aktif dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan prinsip-prinsip kemerdekaan, peradamaian abadi, dan keadilan sosial. Artinya, Indonesia harus menjadi bagian dari masyarakat internasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa Indonesia menerima hukum internasional yang mengatur masyarakat internasional sepanjang sesuai dengan prinsip-prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
“Menggunakan rujukan hukum internasional di dalam suatu putusan akan membantu Mahkamah Konstitusi Indonesia untuk mencapai ratio decidendi dalam pertimbangan hukum yang lebih komprehensif sebelum sampai pada amar putusan. Dengan kata lain, rujukan tersebut akan mendukung Mahkamah Konstitusi untuk membangun interpretasi konstitusi dalam kasus-kasus konkret,” urai Palguna yang secara fasih menerangkan dengan bahasa Inggris.
Dengan melakukan analisis perbandingan, Palguna kemudian menjelaskan ketika suatu negara secara sukarela mengikatkan dirinya atau menjadi bagian dari masyarakat internasional, di mana hukum internasional berlaku, maka terdapat kesamaan pandangan terhadap kompatibilitas antara hukum nasional suatu negara dengan hukum internasional.
Akan tetapi, kesamaan pandangan tersebut, menurut Palguna, tidak selalu harus ditafsirkan bahwa hukum internasional menjadi di atas hukum nasional, kecuali hukum nasional dari suatu negara tersebut. Dalam hal ini, konstitusinya menyatakan kedudukan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasionalnya, misalnya seperti di negara Belanda.
Meskipun Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam putusannya seringkali menggunakan sumber-sumber hukum internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, Palguna menguraikan bahwa dalam konteks Indonesia, hukum internasional tersebut tidak memengaruhi MK dalam menentukan konstitusionalitas ataupun inkonstitusionalitas suatu perkara yang menjadi kewenangannya. Pertimbangan hukum yang diambil tetap ekslusif pada domain konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam sistem hukum Indonesia.
“Namun, dengan memasukan hukum internasional dalam berbagai putusannya, Mahkamah Konstitusi Indonesia memperlihatkan kepada masyarakat umum, termasuk masyarakat internasional, bahwa Mahkamah tidak mudah mengenyampingkan adanya perkembangan yang terjadi pada komunitas internasional, sebagaimana terefleksikan di dalam perkembangan hukum internasional,” tutup Palguna menjawab sederet pertanyaan yang diajukan selama berlangsungnya kuliah tamu.
Di sela-sela kegiatannya menjadi dosen tamu di The Hague University, Hakim Palguna juga melakukan kunjungan kehormatan ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC). Dirinya diterima oleh para hakim internasional dari lembaga peradilan tersebut guna mendiskusikan perkembangan hukum internasional terkini, khususnya terkait dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan upaya untuk mewujudkan keadilan serta perdamaian. (FZ/LA)