Sidang perbaikan permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/8) siang. Pemohon perkara Nomor 50/PUU-XV/2017 tersebut adalah sejumlah ormas Islam, di antaranya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Yayasan Forum Silaturahmi Antar Pengajian Indonesia, dan Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia
Pemohon diwakili kuasa hukumnya Rangga Lukita Desnata menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan, terutama pada bagian uji formil. “Perbaikan kami pada prinsipnya di bagian uji formil. Tidak ada penambahan-penambahan judul mengenai substansi yang kami permasalahkan tentang Perppu Nomor 2 Tahun 2017, tetapi terdapat penambahan argumentasi dan penguatan argumentasi untuk uji formilnya, Yang Mulia,” kata Rangga kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Pemohon juga memperbaiki pasal yang dimohonkan uji materiil. “Uji materiilnya, pasal yang kami ajukan pada saat permohonan pertama itu sama Yang Mulia, yaitu Pasal 1 angka 6 sampai dengan 21 maupun Pasal 59. Tapi khusus untuk Pasal 59 yang kemarin kami ujikan itu adalah batang tubuhnya, pasalnya. Sekarang yang kami ujikan itu adalah penjelasannya yaitu frasa ‘atau paham lain’, Yang Mulia. Kemudian Pasal 62 ayat (3) tetap sama dengan permohonan yang pertama. Pasal 80A tetap sama, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) tetap sama dengan yang kemarin, Yang Mulia,” papar Rangga.
Pada sidang perdana, Pemohon yang diwakili Rangga Lukita, menyampaikan bahwa hak konstitusionalnya dilanggar dengan pemberlakuan Perppu. Sebab, penetapan Perppu yang merupakan satu kesatuan dengan UU Ormas tersebut dinilai tidak sesuai dengan prosedur yang ditentukan Pasal 12 UUD 1945 dan tidak terdapat ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’ sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Menurut Pemohon, prosedur penetapan Perppu tersebut mestinya didahului pernyataan bahaya oleh Presiden yang syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Tanpa adanya pernyataan dan kriteria tersebut, sama saja memberikan kesempatan kepada Presiden untuk melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).Dalam permohonannya, Pemohon menilai bahwa secara formil Perppu Ormas telah menyalahi prosedur dikeluarkannya Perppu.
Selain itu, Pemohon juga mempersoalkan substansi materi Pasal59 ayat (4) huruf c dan Pasal 82A ayat (1) dan (2) Perppu Ormas yang dinilai sangat luas, multitafsir, mengancam hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Oleh karena itu, dalam petitum-nya, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan bahwa pembentukan Perppu Ormas bertentangan dengan UUD dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(Nano Tresna Arfana/lul)