Kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak) tidak memiliki dasar pedoman sehingga berdampak pada rapuhnya sistem pajak Indonesia. Demikian disampaikan Direktur LSM Pajak Indonesian Tax Care (Intac) Basuki Widodo, pada sidang kelima untuk empat perkara terkait pengujian UU Pengampunan Pajak yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (11/10) di Ruang Sidang MK. Empat perkara tersebut teregistrasi dengan Nomor 57/PUU-XIV/2016, 58/PUU-XIV/2016, 59/PUU-XIV/2016 dan 63/PUU-XIV/2016.
Widodo, sebagai ahli yang dihadirkan pemohon perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016, menjelaskan UU Pengampunan Pajak menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat karena target para aparatur di lapangan menyasar kepada masyarakat untuk ikut tax amnesty. Padahal, lanjutnya, selama ini masyarakat telah dipotong pajak atas penghasilan yang diperoleh selama ini. “Hanya karena harta yang tidak dicantumkan dalam SPT tahunan menjadi mereka sasaran untuk ikutkan tax amnesty. Hal ini tentunya menjadikan mereka dikenakan pajak 2 kali atau double tax section,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Menurut Widodo, hal berbeda dialami oleh para pengemplang pajak yang bertahun-tahun memang tidak pernah membayar pajak. Menurutnya, uang tebusan tax amnesty sebagai cara untuk menahan pajak yang selama ini tidak pernah dikenakan. Hal tersebut dinilainya tidak memenuhi unsur keadilan serta tidak menjamin kepastian hukum. “Karena kebijakan tax amnesty melukai wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak pasti ada kemungkinan untuk dikenakan pajak kembali. Hal ini tentu menimbulkan efek kurang baik bagi membangun kesadaran pajak masyarakat,” terangnya.
Ia juga mengungkapkan berbagai kepentingan menunggangi kepentingan tax amnesty dan membuka peluang berbagai penyimpangan. Ia menuturkan kebijakan tax amnesty yang lebih fokus pada target penerimaan menjadikan berbagai kepentingan masuk mendompleng kepentingan pajak itu sendiri. Dari sudut pandang para pihak terkait yang merancang kebijakan tax amnesty, bila target penerimaan tersebut tercapai, maka akan dianggap sebagai pencapaian prestasi kerja.
“Para oknum aparatur sering kali merangkap sebagai konsultan pajak fiktif. Kemudian, para konsultan dan fraksi pajak akan mengambil peluang dalam membuka training dan pengurusan tax amnesty. Para pihak dalam memanfatkan terkait dengan pencucian uang. Sampai para oknum yang selama ini menaruh uangnya di luar negeri memungkinkan mengatur kebijakan ini agar dapat disahkan DPR sehingga uang mereka dapat diputihkan secara hukum. Tentu saja kebijakan ini semakin membuat maraknya korupsi di lingkungan pajak,” tandasnya.
Reward Pengemplang Pajak
Sementara itu, Ahli Pemohon Nomor 63/PUU-XIV/2016 Makmur Amin menjelaskan keberlakuan UU Pengampunan Pajak memberikan perlakuan khusus bagi para pihak yang justru tidak taat membayar pajak. Ia menilai perlakuan khusus tersebut justru malah terlihat sebagai reward kepada pihak-pihak yang tidak taat membayar pajak.
“Seharusnya ada sanksi yang diberlakukan bagi pihak-pihak yang nyata melakukan tindakan koruptif seperti ini. Namun, di luar dugaan, justru negara dalam hal ini melegalkanya dan memberikan reward yakni pengampunan kepadanya,” terang Makmur yang juga merupakan aktivis Intac.
Hal senada diungkapkan Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Akhmad Akbar Susamto selaku ahli yang dihadirkan pemohon perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016. Ia menjelaskan dalam UU Pengampunan Pajak, Pengampuan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Oleh karena itu, lanjutnya, pengampunan pajak tidak relevan bagi para wajib pajak yang selama ini telah taat. Sebaliknya, pengampuan pajak sangat relevan bagi para wajib pajak yang selama ini tak membayarkan kewajiban pajak mereka.
“Dengan kata lebih lugas, pengampuan pajak hanya relevan bagi pengemplang pajak. Menariknya, dalam beberapa minggu terakhir kita menyaksikan para peserta pengampuan pajak yang secara terbuka tampil ke publik, dan bahkan memberikan pernyataan-pernyataan ke media massa, seolah-olah mereka para pahlawan yang baru saja melaksanakan tugas suci demi bangsa dan negara,” tegasnya.
Para pemohon yang mengajukan permohonan terkait uji materiil UU Pengampunan Pajak ini di antaranya Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (Perkara 57/PUU-XIV/2016), Yayasan Satu Keadilan (perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016), Leni Indrawati dkk (Perkara nomor 59/PUU-XIV/2016) serta Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) (Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016). Para pemohon menilai ketentuan dalam UU Pengampunan Pajak telah melukai rasa keadilan dalam masyarakat karena bersifat diskriminatif dengan membedakan kedudukan warga negara sebagai warga negara pembayar pajak dan warga negara tidak membayar pajak.
Selain itu ketentuan tersebut juga dinilai memberikan hak khusus secara eksklusif kepada pihak yang tidak taat pajak, berupa pembebasan sanksi administrasi, proses pemeriksaan, dan sanksi pidana. Tak hanya itu, Pemohon juga menilai pengampunan untuk konteks perpajakan tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi yang menyatakan lembaga pajak seharusnya bersifat memaksa. Dengan adanya ketentuan a quo, sifat lembaga pajak berubah menjadi lentur bahkan menjadi negotiable. Hal tersebutdinilaiPemohon juga sebagai ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif yang nyata terhadap “para pengemplang pajak” dari kewajibannya membayar pajak. Alih-alih diberi sanksi, justru “para pengemplang pajak” tersebut diampuni dan hanya membayar denda yang jumlahnya sama dengan warga lain. (Lulu Anjarsari/lul)