Selasa (26/7), Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Kitab Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) yang dimohonkan oleh 12 orang warga negara Indonesia. Untuk memperkuat dalil mengenai sudah tidak relevannya pasal “zina” dalam KUHP, Pemohon menghadirkan tiga orang ahli di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman. Tiga orang ahli yang dihadirkan Pemohon, yakni Sosiolog Musni Umar, Psikiater sekaligus Guru Besar Psikiatri Universitas Indonesia Dadang Hawari, dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakir.
Sesuai keahliannya, Musni Umar menyampaikan tinjauan sosiologis terhadap pasal perzinaan, perkosaan, dan pencabulan sesama jenis dalam KUHP yang digugat Pemohon. Mengawali paparannya, Musni menyampaikan bahwa tiap bayi yang lahir ke dunia bagaikan kertas putih. Orang tualah yang menentukan “warna” tiap anak.
Tidak hanya orang tua, kaum cendikiawan, masyarakat, dan aktivis juga memiliki peran untuk memberi pengaruh terhadap tiap insan. Menurut Musni, kaum cendikiawan, masyarakat madani, dan aktivis pergerakan sosial bertugas mendorong terciptanya lingkungan sosial dan hukum yang semakin baik.
Terkait hal itu, Musni beranggapan uji materi terhadap Pasal 240, Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP yang diajukan Pemohon merupakan salah satu upaya untuk menciptakan lingkungan sosial dan hukum yang dapat mencegah tindak kejahatan seksual.
Lebih lanjut, menyinggung latar belakang pembentukan pasal a quo yang dibentuk pada zaman penjajahan Belanda, Musni melihat niat Belanda saat itu telah gagal mengubah Indonesia sesuai yang diinginkan. Justru, pasal a quo yang bersifat ambivalent menyusahkan upaya penegakan hukum.
“Menurut saya, hukum yang diciptakan penjajah untuk mengubah masyarakat Indonesia telah gagal mengubah Indonesia sesuai yang diinginkan, tetapi berhasil merusak masyarakat Indonesia, sehingga bersifat ambivalensi, perasaan mendua dalam mengamalkan hukum, sehingga hukum sulit tegak di negeri yang kita cintai ini,” ujar Musni.
Pada kesempatan itu Musni juga memaparkan kasus-kasus kekerasan seksual. Musni menyimpulkan berbagai kasus kekerasan seksual yang bahkan terjadi di luar nalar diakibatkan banyak faktor, salah satunya akibat hukum di Indonesia yang mengamalkan hukum warisan penjajah Belanda. Menurut Musni, hukum warisan penjajah tidak memiliki kesamaan budaya, agama, adat istiadat dengan kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Oleh karena itu, di akhir paparannya, Musni meminta Mahkamah untuk mengabulkan permohonan para Pemohon. “Bahwa perbuatan zina adalah perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak disertai dengan ikatan pernikahan dan perkawinan. Dengan demikian, pengertian zina tidak hanya mereka yang sudah nikah atau kawin, sesuai Pasal 284 KUHP, tetapi siapa saja yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan atau laki-laki lain tanpa melalui ikatan perkawinan atau akad nikah,” tegas Musni.
Pandangan Hukum Pidana
Sementara itu, Mudzakir menyampaikan pasal a quo yang digugat Pemohon menimbulkan banyak kebingungan. Misalnya, Pasal 284 KUHP Yang mengatur norma larangan hubungan di luar pernikahan. Dengan norma yang demikian, Mudzakir melihat perbuatan persetubuhan lainnya yang bukan dilakukan oleh seseorang yang memiliki ikatan pernikahan tidak dapat dijerat pidana dengan menggunakan Pasal 284 KUHP.
“Jadi intinya syarat di dalam Pasal 284 ini adalah salah satu di antara pelaku hubungan seksual itu, khususnya di dalam konteks ini adalah suami atau istri. Artinya apa? Artinya kalau bukan suami-istri, tidak berlaku. Kecuali dia adalah sebagai partner atau turut serta dalam melakukan perbuatan ini,” jelas Mudzakir di Ruang Sidang Pleno MK.
Oleh karena itu, Mudzakir berpendapat agar Pasal 284 KUHP diharmonisasikan dengan Pasal 28B UUD 1945 dan perkembangan dalam legislasi pasca amandemen UUD 1945. Dengan kata lain, Mudzakir meminta hubungan seksual yang dilarang sehingga menimbulkan konsekuensi pidana adalah hubungan seksual atau persetubuhan tanpa ikatan perkawinan.
Kebingungan serupa juga terlihat dalam Pasal 285 yang mengatur norma larangan tindak perkosaan. Menurut Mudzakir, pasal tersebut menekankan pada larangan kekerasan, ancaman, dan paksaan dalam mensetubuhi wanita di luar ikatan perkawinan. Dengan demikian, Mudzakir melihat Pasal 285 KUHP hanya menekankan pada tindakan kekerasannya saja, sedangkan persetubuhan di luar pernikahan hanya dijadikan variabel.
Mudzakir mengingatkan bahwa tindakan perkosaan saat ini tidak hanya dilakukan laki-laki kepada wanita. Hal sebaliknya sangat mungkin terjadi di era ini. “Pasal 285 KUHP tidak hanya ditujukan kepada subjek hukum laki-laki saja, tapi juga subjek hukum perempuan karena dalam perkembangannya perempuan juga dapat melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap laki-laki,” urai Mudzakir.
Terkait Pasal 292 KUHP yang mengatur mengenai tindakan pencabulan, Mudzakir menekankan bahwa penyimpangan seksual dalam bentuk pencabulan pada prinsipnya harus dilarang dan sebaiknya diperluas subjek hukumnya bukan hanya ditujukan kepada orang di bawah umur, tetapi juga berlaku bagi orang dewasa dan terhadap orang dewasa. (Yusti Nurul Agustin/lul)