Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan pada Kamis (20/8) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Pemohon Benny Setiady Rasman yang menyatakan dirinya berprofesi sebagai Pimpinan Wirausaha, menggugat keberlakuan Pasal 114 ayat (2) UU Narkotika.
Adapun Pasal 114 ayat (2) UU Narkotika menyebutkan, ‘Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dipidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)’.
Di Indonesia, dalil Benny, tidak ada jaminan atas perlindungan dan kepastian hukum serta tidak adanya tata urutan yang benar dan adil dalam menerapkan hukuman kepada seseorang. Menurutnya, secara khusus dalam menerapkan hukuman mati terhadap perkara narkotika dan obat/bahan berbahaya (narkoba), harus berdasarkan tata urutan yang jelas. Selain itu, tata urutan ini harus tercantum dalam undang-undang.
Pemohon kemudian mencontohkan kasus yang menimpa Mary Jane Veloso yang terjerat kasus narkoba. Menurut Pemohon, Mary Jane seharusnya tidak dijatuhi hukuman mati, karena Ia bukan gembong narkoba. Pemohon melanjutkan, masih ada pengedar narkoba yang melakukan pengedaran narkoba jauh lebih besar dari Mary Jane yang sampai sekarang masih ditahan di Lembaga Permasyarakatan dan masih melakukan pengedaran narkoba.
Menurut Pemohon, sebaiknya penegak hukum atau undang-undang mampu memproses semua pelanggar berdasarkan asas yang berkeadilan, diawali dari pelanggar yang terberat dan dilakukan lebih awal dari yang lain. Penegak hukum, lanjut Benny, harus menerima semua laporan masyarakat secara profesional dan diproses sesuai aturan urutan yang benar.
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menasihati agar Pemohon menyusun lagi permohonannya secara benar, sistematis dan disertai identitas yang jelas. “Anda bisa melihat website Mahkamah Konstitusi bagaimana model-model permohonan berperkara di MK,” saran Palguna kepada Pemohon dalam perkara yang terdaftar dengan nomor 93/PUU-XIII/2015 ini.
“Kemudian masalah kewenangan Mahkamah, Anda harus baca di Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Kedua, tentang legal standing Anda, apa kerugian konstitusional Anda yang diderita dengan berlakunya UU Narkotika. Baru kemudian Anda uraikan alasannya mengapa undang-undang yang Anda sebutkan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar,” tambah Palguna.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati permohonan Pemohon yang dianggap belum memenuhi persyaratan, baik dari sisi sistematika maupun substansi. “Misalnya Bapak mengalami kasus konkret, boleh Bapak sampaikan dalam pokok-pokok permohonan, kemudian baru masuk ke substansinya,” kata Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menanggapi adanya istilah yang tidak lazim dalam permohonan Pemohon. “Jangan membuat kata-kata yang belum tentu ada kebenarannya dan sensitif,” tandas Manahan. (Nano Tresna Arfana)