Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga bentukan oleh IMF, EDB, dan Bank Dunia (World Bank). Oleh karena itu, di beberapa negara, lembaga serupa dibubarkan dan dikembalikan kewenangannya kepada Kementerian Keuangan dan seharusnya Indonesia melakukan hal yang sama. Hal ini disampaikan oleh Sri Edi Swasono selaku Ahli yang diajukan oleh Tim Pembela Ekonomi Bangsa dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) pada Rabu (8/10) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Pilihan pertama, OJK dibubarkan. Kalau OJK dibubarkan berarti Undang-Undang Bank Indonesia harus diamandemen dulu karena adanya OJK adalah atas perintah undang-undang. Dan atas perintah undang-undang, dibuat undang-undang OJK. Berarti undang-Undang Bank Indonesia harus diubah, diamandemen. Pilihan kedua, OJK menjadi bagian dari Bank Indonesia seperti di Inggris,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Derajat BI dan OJK Berbeda
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas. Saldi Isra menyampaikan walaupun OJK dan BI berkedudukan sebagai lembaga negara, namun keduanya memiliki derajat kedudukan yang berbeda sebagai lembaga negara. Bank Indonesia merupakan lembaga yang dibentuk sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 23D Undang-Undang Dasar Tahun. Dalam hal ini, lanjut Saldi, kehadiran bank sentral yang kemudian diberi nama Bank Indonesia merupakan mandat Undang-Undang Dasar Tahun 1945, artinya sumber norma yang menjadi dasar keberadaan Bank Indonesia adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Sedangkan kehadiran OJK merupakan konsekuensi Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yang telah diubah tentang Bank Indonesia. Perbedaan dasar hukum pembentukan BI dan OJK memiliki konsekuensi terhadap tidak samanya kekuatan keduanya. Hal ini karena dasar pembentukan BI berasal dari UUD 1945, maka lembaga ini tidak dapat dibubarkan hanya kebijakan pembentuk undang-undang. Jika hendak membubarkan BI atau bank sentral harus melalui perubahan konstitusi atau perubahan UUD 1945. Inilah yang menyebabkan keberadaan BI menjadi kuat, sementara kedudukan OJK tidak sekuat BI, sebab kekuatan lembaga ini hanya berbasis undang-undang.
“Perbedaan sumber norma pembentukkan dua lembaga tersebut tidak dapat dijadikan dasar penilaian konstitusionalitas atau tidaknya lembaga yang ada, sebab baik lembaga yang dibentuk karena perintah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maupun lembaga yang hadir karena perintah undang-undang sama-sama konstitusional sepanjang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sesuai dengan wewenang yang dimilikinya. Jadi perbedaan dasar hukum tidak menjadi alasan mempersoalkan konstitusionalitas sebab sebuah lembaga negara atau komisi negara,” jelasnya.
Sedangkan mengenai independesi OJK, Saldi menyampaikan independensi OJK bukan bermakna bahwa peran negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional menjadi berkurang. Sebab, sambungnya, kehadiran OJK bukan dalam rangka menarik keluar urusan yang seharusnya menjadi fungsi pemerintahan negara, melainkan tetap dilakukan oleh negara melalui pembagian urusan terkait perbankan dan perekonomian nasional kepada beberapa lembaga negara. Selain itu, sekalipun ditempatkan sebagai lembaga negara independen, pelaksanaan tugas
OJK tetap terkait dan dengan pelaksanaan tugas pemerintahan dan Bank Indonesia. “Hal ini secara struktural, keterikatan pelaksanaan tugas OJK diwujudkan dalam bentuk dijabatnya 2 komisioner OJK yang berasal dari Eselon I pada Kementerian Keuangan dan anggota dewan gubernur BI. Sedangkan 7 anggota dewan komisioner lainnya diisi melalui proses seleksi. Hal itu menunjukkan bahwa sifat independensi OJK tetap dalam kerangka keterkaitan tugasnya mengawal perekonomian nasional bersama Kementerian Keuangan dan Bank Sentral,” terangnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK. Sebagai pembayar pajak, pemohon merasa lingkup kewenangan OJK telah melebihi kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Pada dasanya OJK menurut Pemohon hanya memiliki wewenang menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan lembaga keuangan bank yang berdasarkan pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia. Hal ini menyebabkan wewenang OJK dalam mengawasi lembaga keuangan non-bank dan jasa keuangan lainnya tidak sah karena pada pasal tersebut tidak mengatur hal tersebut.
Untuk itulah, dalam tuntutan atau petitum-nya, Pemohon meminta MK menyatakan UU OJK terutama Pasal 1 angka 1, Pasal 5, dan Pasal 37 bertentangan dengan UUD 1945. Namun apabila nantinya MK tidak mengabulkan permohonan tersebut, mereka meminta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK dihapuskan. Pemohon juga mengajukan petitum provisi untuk menghentikan sementara operasional OJK sampai ada putusan pengadilan sehingga memerintahkan Bank Indonesia mengambil alih sementara. (Lulu Anjarsari/mh)