JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Rabu (21/8/2024). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 106/PUUXXII/2024 ini diajukan Haerul Kusuma, seorang mahasiswa. Pemohon berpendapat bahwa ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat, yang mensyaratkan magang selama minimal 2 tahun berturut-turut di kantor advokat, berpotensi merugikan hak konstitusional mereka secara faktual atau potensial.
Dalam persidangan, Haerul yang hadir tanpa ditemani kuasa hukum beralasan bahwa persyaratan magang yang dimaksudkan untuk memberikan pengalaman praktis dalam mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika calon advokat, seharusnya tidak semata-mata dibatasi pada magang formal saja. Pemohon juga berpendapat bahwa pengalaman praktis dapat diperoleh melalui bekerja di kantor advokat, baik ketika masih menjadi mahasiswa hukum maupun setelah lulus sebagai sarjana hukum.
“Calon advokat yang memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan dan etika dalam menjalankan profesinya,” ucap Haerul.
Haerul berpendapat bahwa ketentuan tersebut menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum karena membatasi pengalaman praktis hanya pada periode magang, tanpa memperhitungkan pengalaman lain yang relevan. Oleh karena itu, Pemohon merasa bahwa hak mereka untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus dalam memperoleh kesempatan yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan telah dirugikan secara nyata—terutama dalam hal mendapatkan pengalaman praktis yang diperlukan untuk mendukung kemampuan dan keterampilan sejak masa menjadi mahasiswa hukum.
“Tidak ada batasan mengenai apakah magang itu dilakukan ketika mahasiswa atau dinyatakan lulus setelah sarjana hukum. Dalam hal ini, tentu tidak memiliki kejelasan terkait jangka waktu. Dan sebetulnya dalam hal ini, Pemohon juga memiliki pengalaman magang di kantor advokat yang dimana pada saat itu pemohon masih sebagai mahasiswa. Tentu dalam hal ini Pemohon mempertanyakan apakah ketika Pemohon telah magang dan bekerja itu tidak bisa persyaratan untuk nanti Pemohon mendaftarkan diri sebagai advokat. Karena dalam ketentuan tersebut tidak dijelasi mengenai batasan waktu,” tegas Haerul .
Untuk itu, Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat yang mensyaratkan magang selama 2 tahun berturut-turut di kantor advokat bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai pengalaman bekerja atau magang selama 2 tahun di kantor advokat yang dimulai sejak mahasiswa hukum strata satu pada semester 4 atau sebelum diangkat sebagai advokat.
Selain itu, Pemohon juga meminta agar Pasal 26 ayat (1) UU Advokat, yang mengatur penyusunan kode etik oleh organisasi advokat, dimaknai bahwa penyusunan tersebut dilakukan oleh Majelis Kehormatan Organisasi Advokat. Begitu pula dengan Pasal 27 ayat (1) UU Advokat, yang harus diartikan bahwa pembentukan Dewan Kehormatan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden, untuk membentuk Majelis Kehormatan Organisasi Advokat yang bersifat tunggal dan independen. Selanjutnya, Pasal 29 ayat (1) UU Advokat harus dimaknai bahwa penetapan dan penindakan kode etik dilakukan oleh Majelis Kehormatan. Pemohon juga meminta agar DPR dan Presiden segera membentuk Majelis Kehormatan Organisasi Advokat yang tunggal dan independen, serta melakukan perubahan terhadap UU Advokat dalam waktu 1 tahun 5 bulan sejak putusan ini diucapkan.
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan agar Pemohon memperkuat kedudukan hukum (legal standing) dengan menjelaskan secara jelas kaitan antara kerugian yang dialami dengan berlakunya undang-undang tersebut.
“Pertama-tama, kualifikasinya harus lebih jelas. Tidak perlu mencantumkan status sebagai pelajar atau mahasiswa, melainkan fokus pada peran sebagai konsultan hukum yang sedang mendaftarkan diri di PKPA. Nah, Anda harus uraikan apa kerugiannya, kalau kayak gini kan belum kelihatan aktual, kecuali kalau sudah daftar baru ada kerugiannya,” tambah Enny.
Sebelum menutup persidangan Majelis Hakim menyampaikan para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas perbaikan diterima oleh MK pada Selasa, 3 September 2024 pukul 13.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan