JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dimaksudkan untuk mengatur ambang batas minimum perolehan suara sebagai syarat yang berlaku bagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang telah mengikuti pemilu sebelumnya dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Sementara partai politik yang belum pernah mengikuti pemilihan umum pada pemilu sebelumnya dan baru menjadi partai politik peserta yang akan mengikuti pemilihan umum pada 2024, termasuk pula bagi Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) tetap dapat menggabungkan diri dengan partai politik atau gabungan partai politik lain yang telah memenuhi syarat ambang batas dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Demikian salah satu pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam Sidang Pengucapan Putusan perkara Nomor 16/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) pada Kamis (30/3/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat diterima atas tersebut karena batasan/ketentuan dalam Pasal 222 UU Pemilu tidak dapat diberlakukan bagi Pemohon. Lebih jelas lagi Wahiduddin menyebutkan ketentuan tersebut menyoal persyaratan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan mendasarkan pada perolehan kursi DPR atau suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Sehingga hal tersebut tidak berarti menghalangi hak konstitusional Pemohon sebagai partai politik baru untuk turut serta mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu yang akan datang. Sebab Pemohon tetap dapat menggabungkan diri dengan partai politik atau gabungan partai politik lain yang telah memenuhi syarat ambang batas dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
“Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut, Mahkamah berkesimpulan Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo. Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo dan pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam membacakan konklusi permohonan perkara dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra beserta tujuh hakim konstitusi lainnya.
PKN Partai Peserta Pemilu
Menyikapi permohonan ini, Wakil MK Saldi Isra memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) perihal kedudukan hukum Pemohon dalam mengajukan permohonan. Menurutnya Pemohon merupakan pihak yang memiliki kepentingan langsung terhadap proses dan tata cara pengusulan pencalonan presiden dan wakil presiden. Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 518 Tahun 2022 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Partai Politik Lokal Aceh Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota Tahun 2024, bertanggal 14 Desember, PKN telah ditetapkan sebagai salah satu partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2024.
“Dengan demikian, secara konstitusional tidak terdapat cukup alasan untuk menyatakan Pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Artinya, sebagai partai politik peserta Pemilihan Umum 2024, tidak ada keraguan bagi Pemohon untuk mengajukan penilaian terhadap inkonstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017,” sebut Saldi.
Baca juga:
PKN Perkuat Kedudukan Pemohon Soal Hak Usung Capres
Sebagaimana diketahui, PKN mempersoalkan adanya diskriminasi terhadap partai politik pengusul pasangan presiden dan wakil presiden. Pemohon mengatakan, sebaiknya kepesertaan partai politik (parpol) dalam pemilu setiap periode harus dibaca berbeda meski mayoritas pesertanya sama. Artinya setiap periode pemilu parpol harus kembali mendaftar, baik parpol peserta pemilu sebelumnya maupun peserta pemilu yang baru atau menganut stelsel daftar aktif. Dengan demikian, jika suatu parpol tidak mendaftar, maka parpol yang bersangkutan tidak bisa mengikuti pemilu selanjutnya meski pada masa ini memiliki wakil di parlemen nasional.
Menurut Pemohon, dengan adanya putusan pemilu serentak dimana Pemilu Legislatif dan Pilpres bersamaan, tentu menjadi aneh dan janggal ada perhitungan berbasiskan data pemilih yang berbeda untuk pelaksanaan satu periode Pemilu. Untuk persyaratan mendaftar pencalonan calon Presiden dan Wakil Presiden menggunakan basis Pemilih yang lama, namun untuk pemilihannya menggunakan basis pemilih yang baru. Ini menjadi anomali dan tidak konsisten. Padahal perhitungan pemilih merupakan hal yang esensial dalam Pemilu.
Konsekuensi keserentakan menurut Pemohon, seharusnya dikembalikan kepada esensi dan substansi dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada parpol peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa persyaratan tambahan apapun. Sedangkan Pasal 222 UU Pemilu mengatur soal persyaratan presidential threshold baik dengan alokasi kursi maupun suara sah, dan Mahkamah menilai itu sebagai open legal policy. Maka sudah seharusnya aturan tersebut juga tidak mencabut dan menghilangkan hak konstitusional parpol peserta pemilu lainya yang tidak bisa memilih di antara dua pilihan persyaratan tersebut. Jika melihat ketentuan Pasal 6A ayat (2) dan UUD 1945 dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu, maka ada kekosongan norma yang berdampak hilangnya hak konstitusional sebagian partai politik peserta pemilu yang sah.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita