Sutrisno Nugroho yang merupakan perseorangan warga negara mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Sidang perdana Perkara Nomor 62/PUU-XVI/2018 ini yang digelar pada Rabu (18/7) di Ruang Sidang Panel MK ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Aswanto.
Pemohon merupakan perseorangan warga negara Indonesia yang telah dijatuhkan putusan pidana oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 1985/Pid/Sus/2015/PN.Jkt.Brt tanggal 31 Maret 2016 dan juga telah mengajukan dua permohonan PK sebagaimana Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor 07/Akta Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Brt. bertanggal 05 Juni 2017. Kemudian pada hari Rabu tanggal 28 Maret 2018, Pemohon merasa telah menemukan alat bukti baru (novum) sehingga Pemohon kembali mencoba untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) untuk kedua kalinya. Namun Pemohon merasa permohonan Peninjauan Kembali yang kedua kali menjadi sia-sia karena adanya pembatasan dalam Undang-Undang yang diajukan permohonan uji materiil seperti yang tercantum dalam Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 66 ayat (1) UU MA berbunyi, “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.” Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman berbunyi, “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.”
Erdiana selaku salah satu kuasa hukum Pemohon, menyampaikan bahwa MK melalui putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 telah memperkenankan permohonan peninjauan kembali terkait perkara pidana yang dapat diajukan lebih dari satu kali. Namun, lanjut Erdiana, Pengadilan Negeri tempat Pemohon disidangkan menolak pengajuan permohonan PK dengan alasan adanya Surat Edaran MA Nomor 07 Tahun 2014 tertanggal 31 Desember 2014. Dalam SEMA tersebut, dinyatakan agar tidak menerima pihak yang mengajukan upaya hukum permohonan PK untuk kedua kali atau lebih, kecuali hanya dengan alasan terdapatnya berbagai putusan dalam satu objek perkara.
“Alasan diajukannya PK salah satunya karena adanya novum atau terjadi kekhilafan hakim yang nyata, namun usaha Pemohon untuk mengajukan permohonan PK ini menjadi sia-sia karena MA telah menginstruksikan seluruh pengadilan tingkat pertama untuk melakukan penolakan terhadap berkas perkara permohonan PK yang diajukan untuk kedua kalinya atau lebih,” ujar Erdiana.
Akibat dari pemberlakuan Pasal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, tambah Erdiana, maka Permohonan PK terhadap perkara pidana yang perah melakukan PK, tidak akan diterima meskipun adanya novum yang mungkin saja sangat substansial. Oleh karena tidak adanya konsistensi antara pasal a quo yang mengatur pembatasan PK, maka hal tersebut telah melanggar prinsip negara hukum dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Untuk itulah, Pemohon meminta MK membatalkan keberlakuan asal 66 ayat (1) UU MA dan Pasal 24 ayat (2) UUKekuasaan Kehakiman.
Putusan Sebelumnya
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyampaikan perlunya Pemohon melakukan komparasi terhadap putusan-putusan yang komprehensif mengenai penilaian MK yang berkaitan dengan pasal a quo. ”Ada beberapa putusan selain yang Anda sebutkan ini. Jadi, supaya nanti terlihat sikap Mahkamah sehingga apakah Anda nanti mempertimbangkan kembali. Untuk tetap akan mengajukan permohonan ini dengan perbaikan atau mempertimbangkan kembali karena sudah ada putusan sebelumnya,” jelas Suhartoyo.
Adapun Hakim Konstitusi Aswanto meminta agar Pemohon mempertajam kedudukan hukum pihaknya dengan melakukan elaborasi terhadap norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. “Apabila norma dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila dimaknai untuk perkara pidana, perlu dilakukan elaborasi dengan berbagai argumen yang lebih kuat dengan tambahan pandangan ahli juga,” jelas Aswanto.
Sebelum mengakhir persidangan, Suhartoyo mengingatkan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 31 Juli 2018 pukul 10.00 WIB. (Sri Pujianti/LA)