Sistem hukum Pancasila memiliki kekhasan tersendiri dengan mengambil sisi baik dari konsep rechtsstaat maupun the rule of law dan juga sistem-sistem hukum lain yang ada sebelumnya, seperti dalam hukum adat serta hukum agama. Hal ini disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman pada Seminar Nasional dalam rangka Hari Lahir Pancasila, Jum’at, (8/6), di Auditorium Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Dalam makalahnya bertema “Ketahanan Nasional Bidang Hukum dalam Menghadapi Ancaman Radikalisme di Indonesia”, Anwar menekankan penegakan sistem hukum Pancasila, yang selalu mengedepankan keadilan dibanding dengan pelaksanaan hukum yang kaku. “Dalam sistem hukum Pancasila inilah, hukum harus senantiasa berdimensi dan berorientasi pada keadilan. Hukum tidak boleh dipahami bersifat mutlak dan rigid, melainkan harus penuh dengan sentuhan moral dan nurani,” ujarnya.
Terkait dengan tantangan dalam menghadapi radikalisme, Anwar mengatakan bahwa sistem hukum Pancasila dalam sejarahnya telah membuktikan mampu menghadapinya. Menurutnya, yang terjadi saat ini bukan pertama kali dihadapi oleh Indonesia, karena fenomena radikalisme pernah terjadi di masa lalu.
“Dalam persepektif sejarah, sebagai sebuah bangsa, kita juga pernah mengalami beberapa peristiwa gerakan radikalisme tersebut. Beberapa peristiwa dimaksud diantaranya adalah gerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII), gerakan Aceh Merdeka (GAM), gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM), dan masih ada beberapa contoh lainnya,” ungkap Anwar.
Anwar menyebut radikalisme tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara lain. Ia memberikan contoh peristiwa upaya peledakan Masjidil Haram pada 2017 lalu yang mengakibatkan korban jiwa, serta usaha merusaha merusak Masjid Nabawi pada 2016 yang mengakibatkan gugurnya empat anggota polisi setempat. Anwar menilai kedua contoh itu menggugurkan asumsi bahwa gerakan radikal dilakukan oleh ummat Islam.
“Karena bagaimana mungkin seorang umat Islam yang taat, akan menghancurkan tempat sucinya sendiri, apalagi dilakukan dalam bulan suci Ramadhan. Sejarah juga pernah mencatat terjadinya paham radikalisme dan perang agama yang terjadi di kawasan eropa pada akhir abad ke 15 hingga menjelang abad ke 17,” terang Anwar kepada 441 orang civitas akademika yang hadir di Aula UMB.
Menurut Anwar, konflik selama lebih dari 120 tahun itu terjadi antara tiga mazhab dalam wilayah Kekaisaran Romawi Suci itu, yakni Katolik, Lutheran, dan Kalvinis diakhiri dengan Perjanjian Damai Westfalen. Dengan pengalaman sejarah itu, Anwar mengingatkan agar masyarakat tidak menyepelekan dan tidak peduli dengan konflik akibat gerakan radikalisme. Hal tersebut karena dampak dari konflik itu yang akan membekas pada generasi berikutnya, meski demikian Anwar juga meminta agar tidak menghadapi radikalisme itu secara berlebihan. Ia juga mengajak para peserta yang hadir untuk bersama menghadapi fenomena radikalisme dengan memahami sejarah bangsa, komitmen terhadap ideologi negara, patuh dan tunduk kepada hukum, sehingga ajaran radikalisme tersebut berangsur pudar. (Ilham/LA)