Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (6/6). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 44/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Heru Cahyono dan Wijaya Kusuma Prawira.
Pemohon diwakili kuasa hukum Andi Muhammad Asrun menguji Pasal 84 ayat (2) dan (5) UU Jasa Konstruksi. Menurut Pemohon, adanya ketentuan Pasal 84 ayat (2) dan ayat (5) UU Jasa Konstruksi telah melahirkan situasi ketidakpastian masa depan eksistensi LPJK di Provinsi serta munculnya potensi hilangnya aset kantor, kendaraan, keuangan dan sistem informasi jasa konstruksi yang kesemuanya berasal dari pendanaan privat, serta sumber daya manusia. Kemudian, akan timbul kemungkinan aset kantor, kendaraan, keuangan dan sistem informasi jasa konstruksi diambil alih oleh pemerintah pasca dibentuknya perwakilan LPJK Nasional.
Ditambahkan Asrun, lembaga pengembangan jasa konstruksi sebagaimana hukum publik, dibentuk dengan eksistensi memiliki landasan hukum Undang-Undang No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah No. 28/2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi serta Peraturan Pemerintah No. 4/2010 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.
Selain itu, kata Asrun, ketentuan Pasal 84 ayat (2) dan ayat (5) UU Jasa Konstruksi telah mengakibatkan ketidakpastian dalam pengembangan jasa konstruksi daerah karena pelayanan jasa konstruksi yang selama ini dikerjakan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) di tingkat nasional dan provinsi sebagaimana diatur dalam UU No. 18/1999. Hilangnya peran LPJKP di tingkat nasional dan tingkat provinsi mengakibatkan terjadi birokratisasi dalam proses registrasi dan sertifikasi bagi jasa konstruksi. Sehingga tidak menutup kemungkinan proses menjadi panjang dan menimbulkan praktik inefisiensi.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar frasa Pasal 84 ayat (5) UU Jasa Konstruksi menyatakan, “Pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai “Pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat Nasional dan ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di tingkat Daerah”.
Kedudukan Hukum
Menanggapi dalil-dalil Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyoroti kedudukan hukum Pemohon. Ia meminta agar Pemohon memperjelas kedudukan hukumnya karena meski Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia, namun bernaung di bawah badan hukum publik.
“Ini Bernaung di bawah hukum publik ini karena didasari kepada Pasal 33 ayat (1). Yang menjadi pertanyaan juga yang mungkin harus dijelaskan dalam permohonan ini, apakah LPJK provinsi ini sudah ada di setiap provinsi di Indonesia? Karena yang saya lihat yang mengajukan permohonan ini hanya dari Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan sehingga juga perlu elaborasi lebih lanjut tadi mengenai soal di bawah hukum publik itu tadi,” saran Manahan selaku pimpinan sidang.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mencermati dalil Pemohon soal pertentangan antara UU Jasa Konstruksi dengan UU No. 18/1999. Akan tetapi, menurutnya, Pemohon tidak menerangkan secara jelas perbedaan keduanya.
“Walaupun MK tidak menguji antarundang-undang, walaupun undang-undang yang satunya sudah dicabut, ya. Tetapi kerugiannya apa? Karena di sini Anda menjelaskan bahwa undang-undang yang lama, kemudian peraturan pemerintahnya, tapi dengan peraturan Pemerintah. Itu kemudian bagaimana dengan kedudukan LPJKP yang ada itu? Di sini tidak terlihat,” ucap Maria. (Nano Tresna Arfana/LA)