Para Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (7/6) siang.
“Hari kami mengunjungi Mahkamah Konstitusi, dengan harapan bahwa para CPNS Kemenkumham ini bisa menyerap berbagai hal mengenai Mahkamah Konstitusi sehingga lebih menambah wawasan mereka,” ujar Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta, Bambang Sumardiono selaku pimpinan rombongan.
Kepala Bagian Humas dan Protokol MK Fajar Laksono Suroso yang menerima rombongan CPNS Kemenkumham, menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi terbentuk secara resmi pada 2003 setelah adanya UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. “Begitu undang-undang itu ditetapkan, maka sejak saat itulah Mahkamah Konstitusi berdiri dan langsung berkiprah,” jelas Fajar kepada 120 CPNS Kemenkumham.
Sebelum perubahan UUD, kata Fajar, tidak ada institusi yang bernama Mahkamah Konstitusi. Bahwa Mahkamah Konstitusi sering disebut lahir dari rahim reformasi Konstitusi. Ketika Konstitusi diamandemen pada 1999 sampai 2002, gagasan-gagasan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi kemudian bermunculan, didiskusikan panjang lebar, bahkan kemudian mengambil banyak praktik di berbagai negara yang sudah punya Mahkamah Konstitusi sebelumnya. “Lalu disepakati dalam perubahan ketiga UUD 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,” ungkap Fajar.
Di samping itu, kata Fajar, Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya dipandang memberikan kontribusi dalam pembangunan hukum, demokrasi, politik yang demokratis dan lainnya. Selain Mahkamah Konstitusi, lanjut Fajar, ada Mahkamah Agung yang juga sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) memiliki perbedaan dari fungsi seperti ditentukan dalam UUD 1945. Kalau Mahkamah Agung mengurus perselisihan hukum antara subyek hukum yang individual, baik perdata, pidana, agama, peradilan militer dan sebagainya. Sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah peradilan Konstitusi yang memiliki lima kewenangan yang bersifat limitatif. Artinya, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi, kecuali dengan perubahan Konstitusi.
Lebih lanjut Fajar mengungkapkan bahwa ada masyarakat yang meminta fatwa hukum ke MK.
“Berkaca pada UUD 1945, MK tidak boleh memberikan fatwa hukum. Karena ketentuan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tidak menyebutkan ada celah bagi MK untuk memberi fatwa hukum. Misalnya, sebelum ada pengujian undang-undang tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden, ada masyarakat yang ingin minta fatwa hukum ke MK. Saya katakan ke teman-teman wartawan, tidak boleh MK memberikan fatwa hukum. MK tidak memiliki kewenangan konstitusional memberikan fatwa hukum. MK hanya akan bicara mengenai satu hal melalui putusan. Berbeda dengan MA yang memang memiliki kewenangan lain bahwa MA bisa diminta fatwa hukum,” papar Fajar.
Dalam pertemuan tersebut, Fajar menerangkan lima kewenangan MK Republik Indonesia. Pertama, menguji undang-undang terhadap UUD. Kedua, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Ketiga, memutus pembubaran partai politik. Keempat, memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Kemudian yang kelima, memutus pendapat DPR apabila presiden dan atau wakil presiden diduga melanggar UUD atau disebut impeachment.
“Kalau melihat lima kewenangan MK itu, ada satu kewenangan yang menurut saya merupakan fitrah dari MK. Bahwa MK di negara manapun berada, pasti memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD. Sementara kewenangan yang lainnya bisa berbeda-beda. Seperti MK Korea, MK Turki, MK Rusia, dan sebagainya,” ujar Fajar yang juga menuturkan sejarah pengujian undang-undang di dunia melalui “The Midnight Judge Act” atau juga dikenal dengan Kasus Marbury vs Madison pada 1803. (Nano Tresna Arfana/LA)