Profesi Likuidator memiliki tugas tanggung jawab yang setara dan sebanding dengan profesi kurator. Oleh karena itu, profesi likuidator harus diatur sama ketat dengan profesi kurator. Hal tersebut diungkapkan oleh M Hadi Subhan selaku ahli Pemohon dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Selasa (5/6).
“Profesi likuidator memiliki tugas tanggung jawab yang setara dan sebanding dengan profesi kurator. Sementara profesi kurator sangat ketat diatur mengenai syarat pengangkatan, sertifikasi profesi, pengawasan, etika, pertanggungjawaban, dan sanksi. Sementara profesi likuidator tidak atau belum ditentukan demikian,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Hadi memisalkan likuidator harus tersertifikasi, namun terjadi contradictio in terminis dalam Pasal 143 UU PT, yakni direktur dapat pula diangkat sebagai likuidator. Padahal tugas likuidator, kata dia, sangat kompleks, rumit, dan memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Hal ini menunjukkan likuidator adalah profesi yang betul-betul harus kompeten dan independen. Selain itu, mesti dianggap setara dengan profesi kurator.
“Kalau saya gambarkan ada empat tugas likuidator. Yang pertama, tugas administrasi. Yang kedua, tugas mencairkan asset. Kemudian tugas membagi-bagikan pada kreditur. Dan tugas mempertanggungjawabkan pada RUPS. Tugas administrasi macam-macam, misalnya mengumumkan di dalam media, kemudian memberitahukan kepada Kum HAM, dan sejenisnya,” ujar Subhan menanggapi Perkara Nomor 29/PUU-XVI/2018 tersebut.
Pakar Hukum UNAIR tersebut menjelaskan regulasi profesi kurator itu sangat ketat di dalam undang-undang maupun di dalam regulasi di bawah undang-undang, seperti peraturan Menteri Hukum dan HAM. Terutama, lanjutnya, terkait syarat pengangkatan kurator, pengawas profesi kurator, etika profesi kurator, pertanggungjawaban kurator, serta sanksi apabila terjadi kesalahan, bahkan kelalaian seorang kurator pun bisa diberikan sanksi.
Hadi juga menjelaskan syarat pengangkatan curator berasal dari advokat dan akuntan. Hal ini berarti kurator merupakan profesi yang subspesialis. Jika advokat/akuntan digambarkan sebagai spesialis, lanjutnya, kurator lebih spesialis daripada keduanya. Sebab seorang kurator harus berasal dari advokat atau harus berasal dari akuntan.
Sebelumnya sejumlah likuidator tercatat sebagai Pemohon perkara Nomor 29/PUU-XVI/2018 tersebut. Pemohon mempermasalahkan ketiadaan persyaratan jelas terkait profesi likuidator. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan ancaman kriminalisasi terhadap profesi Pemohon. Pemohon menyebut kerugian faktual yang dialami adalah banyak likuidator yang bukan Warga Negara Indonesia (likuidator asing) atau lembaga likuidator asing melakukan praktik likuidasi terhadap perseroan-perseroan berbadan hukum Indonesia atau perseroan-perseroan asing yang ada di Indonesia. Di sisi lain, kerugian potensial yang dapat dialami para likuidator adalah tidak adanya perlindungan hukum akibat ketidakjelasan definisi likuidator. Hal ini dinilai menyebabkan profesi likuidator mudah dikriminalisasi. (ARS/LA)