Pemerintah berpendapat Pengurus Yayasan Badan Perguruan Sekolah Menengah Kristen Jawa Barat (Yayasan BPSMK-JB) yang mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda (UU Nasionalisasi) tidak memiliki kedudukan hukum. Hal ini karena berdasarkan sejarah penguasaan negara atas aset eks asing Cina, aset yang dikuasai Pemohon bukan berasal dari aset nasionalisasi sehingga syarat adanya hubungan sebab-akibat atau causaal verband antara kerugian konstitusional Pemohon dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji sama sekali tidak terpenuhi. Demikian disampaikan oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Tio Serepina Siahaan mewakili pemerintah dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 27/PUU-XVI/2018, Senin (5/6).
Aset yang dimiliki Pemohon, lanjut Serephina, adalah aset bekas milik Cina berasal dari penguasaan negara atas aset milik badan hukum atau perkumpulan perseorangan. Hal ini dinyatakan dilarang berdasar Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor PRP/032/Peperpu/1958 dan Undang-Undang Nomor 50 PRP Tahun 1960.
“Berdasarkan ketentuan mengenai syarat-syarat kedudukan hukum atau legal standing pengujian undang-undang tersebut di atas dan mencermati apa yang dikemukakan oleh Pemohon pada bagian kedudukan hukum permohonannya, Pemerintah berpendapat Pemohon Pengujian undang-undang ini tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Sebelumnya Pemohon Perkara Nomor 27/PUU-XVI/2018 tersebut menguji Pasal 1 UU Nasionalisasi terkait nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Menurut Pemohon, Pasal 1 UU Nasionalisasi merugikan hak konstitusional Pemohon. Pemohon merupakan pemilik sah lahan atau aset milik Het Cristhelijk Lyceum (HCL) yang terletak di Jalan Ir. H. Juanda No. 93, Bandung. Akan tetapi, sejak 1991 hingga 2018, Pemohon menghadapi gugatan hukum dari Perkumpulan Lyceum Kristen yang mengklaim sebagai pemilik aset HCL yang telah dinasionalisasi oleh pemerintah. Padahal Kementerian Keuangan telah melepaskan penguasaan negara atas aset milik asing tanah tersebut kepada Yayasan BPSMK-JB pada 19 Desember 2003.
Akan tetapi, keberadaan Pasal 1 UU Nasionalisasi menyebabkan yayasan Pemohon kerap mengalami gugatan hukum. Keberadaan Pasal 1 UU Nasionalisasi tidak memberikan kepastian hukum atas aset bekas HCL yang telah dinasionalisasi dan pengusaannya beralih dari negara kepada Pemohon. Untuk itulah, dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Frasa “Bebas” dalam ketentuan Pasal 1 UU Nasionalisasi tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) bila tidak dimaknai; “Bebas dari segala tuntutan atau gugatan hukum”.(ARS/LA)