Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 Hamdan Zoelva menyampaikan tentang harmonisasi agama dan negara dalam Konstitusi. Hal ini disampaikan Hamdan dalam Halaqah Konstitusi 2018, Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Pengurus Masjid dan Masyarakat se-Kota Bekasi, di Masjid Al-Ukhuwah, Bekasi, Kamis (31/5).
Hamdan menyampaikan kajian mengenai posisi agama dalam konstitusi serta pengaruh nilai-nilai agama dalam bernegara. “Kenapa saya stressing ini, karena dari awal norma konstitusi menempatkan Allah dan Tuhan itu dalam satu kepercayaan yang utuh bagian dari terbentuknya negara Indonesia, karena itu dapat dikatakan agama menempati posisi pertama dan terpenting,” kata Hamdan.
Menurut Hamdan, prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang memiliki pemaknaan yang berbeda-beda dari masing-masing agama, menjadi causa prima atau penyebab adanya sila-sila yang lain. “Oleh karena itu, dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dasar negara kita Ketuhanan Yang Maha Esa, karena causa prima dari sila-sila yang lain, dengan menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa berarti sudah menunjukkan sila-sila yang lain,” ujar Hamdan.
Konstitusi, lanjut Hamdan, juga menjamin kebebasan warga negara untuk bebas memeluk dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Ia mengatakan, agama juga ditegaskan dalam Konstitusi pada bagian tujuan pendidikan nasionalsebagaimana tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 dikatakan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia.
Hubungan Agama dan Negara
Adopsi nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara Indonesia juga mengalami perdebatan yang panjang. Hamdan mengungkapkan, perdebatan dasar penyelenggaraan negara antara kelompok nasionalis dan kelompok agama, mengenai apakah berdasar agama atau memisahkan agama dengan negara memakan waktu paling lama dalam pembentukan konstitusi oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan(BPUPK).
Menurut Hamdan, perdebatan antara kelompok nasionalis dan kelompok agama itu berlanjut pada rapat konstitusiante yang bertugas untuk merumuskan kembali konstitusi Indonesia pada 1955-1959. “Perdebatan itu kembali muncul hingga mengalami deadlockmeski sudah dilakukan dua kali voting,” katanya. Karena kebuntuan itu, kata Hamdan, Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 di mana dalam dekrit tersebut Piagam Jakarta adalah menjiwai dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UUD ini. “Jadi, sekarang ini tidak ada sedikitpun halangan untuk memberlakukan syariat Islam dalam hukum dan perundang-undangan Indonesia” kata Hamdan.
Dengan dasar itu, Hamdan menyampaikan segala kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama. Konsekuensi lain dari pelaksanaan nilai-nilai agama dalam bernegara, maka kehidupan beragama diurus oleh Kementerian Agama. Di negara sekuler, ujarnya, tidak ada kementerian agama karena tidak ada hubungannya antara agama dan negara, sementara pada negara yang didasarkan pada suatu agama tidak memiliki Kementerian Agama karena semua kehidupan bernegara harus dilaksanakan berdasar agama.
Dalam kajian tersebut, Hamdan menegaskan agama memiliki kaitan yang erat dengan negara. “Konstitusi atau UUD kita tidak memisahkan agama dengan negara, agama kebebasannya dijamin oleh negara, nilai-nilai agama merupakan sumber dari kebijakan-kebijakan negara, segala kebijakan yang bertentangan dengan nilai agama maka bertentangan dengan konstitusi” tegas pria kelahiran Bima itu. (Ilham/LA)